Langsung ke konten utama

LARANGAN BERIBADAH DI KUBURAN

LARANGAN BERIBADAH DI KUBURAN

Oleh
Abu Nida` Chomsaha Sofwan


Di dalam al Qur`an, Allah telah menyifati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam dengan banyak sifat terpuji. Di antaranya, Allah menyifati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang yang sangat menginginkan keimanan dan keselamatan umat ini, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Salah satu bentuk kesempurnaan keinginan beliau n yang kuat agar umatnya beriman dan selamat adalah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari segala sarana yang dapat menggiring kepada kesyirikan, dan menutup seluruh celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar bersikap keras dan tegas dalam masalah syirik. Bahkan, khawatir dianggap luput menekankan bahayanya, perihal syirik ini masih juga dijelaskan saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mendekati masa-masa sakaratul maut.

Salah satu sarana dan celah yang dapat mengantarkan kepada perbuatan syirik, yaitu beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih. Perbuatan ini telah menjadi fenomena yang telah lama ada, dan bahkan menjadi kebiasaan sebagian besar kaum muslimin di negeri ini. Bahkan bukan lagi beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang shalih tersebut, tetapi telah beribadah kepada orang shalh yang menghuni kuburan tersebut. Kuburan-kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang konon merupakan lokasi kuburan orang shalih dikunjungi, lalu melakukan beragam peribadahan di sisinya, seperti: berdoa, shalat, membaca al Qur`an, thawaf, sedekah dan sebagainya.

Padahal dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dapat diketahui, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat keras sikap nya terhadap orang-orang yang beribadah kepada Allah di sisi kuburan orang yang shalih. Kalau beribadah kepada Allah di sisi kubur saja, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersikap keras, tentu akan lebih keras lagi jika sampai beribadah kepada penghuni kubur tersebut.

Berikut adalah hadits-hadits mengenai larangan tersebut :
1. Diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari’ Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha (salah seorang istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang gereja dengan rupaka-rupaka di dalamnya yang dilihatnya di Negeri Habasyah (Ethiopia). Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أُولَئِكَ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ أَوِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ؛ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِداً وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

"Mereka itu, apabila ada orang yang shalih -atau hamba yang shalih- meninggal di antara mereka- mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah, dan mereka buat di dalam tempat itu gambar-gambar mereka; mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah.

Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam “mereka itulah makhluk yang paling buruk di hadapan Allah” menunjukkan haramnya membangun masjid-masjid di atas pekuburan, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang melakukan hal itu. Perbuatan itu merupakan sarana yang mengantarkan kepada kekufuran dan kesyirikan, yang secara nyata merupakan kezhaliman yang paling besar.

Al Baidhawi berkata: “Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani bersujud kepada kuburan para nabi dengan maksud mengagungkan derajat mereka, dan menjadikan kuburan-kuburan tersebut sebagai kiblat, yang mereka menghadap dalam shalat, serta menjadikannya sebagai berhala-berhala, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat mereka”.

Imam al Qurthubi berkata,”Mula-mula, para pendahulu mereka memahat gambar-gambar tersebut agar mereka dapat menjadikannya sebagai suri teladan dan mengenang perbuatan-perbuatan shalih mereka, sehingga dapat memiliki kesungguhan beribadah yang sama seperti mereka; karenanya, mereka beribadah kepada Allah di sisi kuburan-kuburan mereka. Kemudian setelah mereka meninggal, datanglah generasi yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap agama, sehingga tidak mengerti maksud dari pendahulu mereka tersebut; lalu setan merasuki mereka dengan menyatakan, bahwa para pendahulu mereka tersebut sebenarnya telah menyembah rupaka-rupaka ini dan mengagungkannya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang terjadinya hal tersebut untuk menutup segala hal yang dapat mengarah ke perbuatan tersebut.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,”(Mereka dikatakan sebagai makhluk yang paling buruk), karena memadukan dua fitnah sekaligus. Yaitu fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat ibadah di atasnya dan fitnah membuat gambar-gambar.” Keduanya disebut fitnah, karena memalingkan manusia dari agama.

Beliau rahimahullah juga berkata,”Hal inilah yang dipakai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai alasan untuk melarang membangun masjid-masjid di atas kuburan-kuburan, karena telah banyak menjerumuskan umat-umat sebelumnya, baik ke dalam syirik besar maupun syirik lainnya yang lebih ringan. Banyak orang cenderung melakukan perbuatan syirik terhadap patung orang shalih dan patung-patung yang mereka anggap bahwa ia merupakan garis-garis rajah dari bintang-bintang, dan hal lain yang serupa dengan bintang. Ini terjadi, karena berbuat syirik dengan menyembah kuburan orang yang diyakini keshalihannya lebih terasa di dalam jiwa, daripada berbuat syirik dengan menyembah pohon atau batu.

Oleh karena itu pula, Anda mendapatkan ahli syirik memohon di sisi kuburan dengan penuh kesungguhan, penuh kekhusyuan dan sikap berserah diri, serta menyembahnya dengan sepenuh hati, padahal ibadah yang seperti itu tidak pernah mereka lakukan di rumah-rumah Allah ataupun di waktu tengah malam menjelang Subuh. Di antara mereka ada yang bersujud kepada kuburan itu. Ketika melakukan shalat dan berdoa di sisi kuburan tersebut, kebanyakan mereka mengharapkan keberkahan, yang tidak pernah mereka harapkan ketika berada di masjid-masjid.

Lantaran perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerusakan, maka dengan tanpa ragu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikisnya. Sampai-sampai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat di pekuburan secara mutlak, meskipun orang melakukannya tidak dengan maksud mengharapkan berkah tempat tersebut sebagaimana ia mengharapkannya ketika shalat di dalam masjid. Begitu pula beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya melakukan shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari, karena waktu-waktu tersebut digunakan oleh kaum musyrikin untuk menyembah matahari. Karenanya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya shalat pada waktu-waktu tersebut, meskipun mereka tidak memiliki tujuan yang sama dengan tujuan kaum musyrikin tadi. Hal ini sebagai upaya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup rapat celah-celah menuju kesyirikan.

Adapun bila seseorang melakukan shalat di sisi kuburan dengan maksud untuk mendapatkan keberkahan melalui shalat di sisi kuburan tersebut, maka ini jelas merupakan sikap memusuhi Allah dan RasulNya, melanggar aturan agamaNya, mengada-adakan sesuatu di dalam agama yang tidak pernah Allah izinkan. Kaum muslimin telah bersepakat secara ijma’, bahwa di antara perkara-perkara mendasar dalam agama, yaitu mengetahui bahwa shalat di sisi kuburan adalah dilarang. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang mengfungsikan kuburan sebagai masjid. Karena itu, di antara perbuatan mengada-ada (bid’ah) yang paling besar dan merupakan sebab-sebab terjadinya kesyirikan adalah melakukan shalat di sisi kuburan dan mengfungsikannya sebagai masjid, serta mendirikan masjid-masjid di atasnya. Nash-nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang hal itu, dan memperingatkan pelakunya secara keras sangatlah banyak dan mutawatir. Seluruh kelompok umat secara jelas dan terang-terangan melarang untuk mendirikan masjid-masjid di atasnya, karena mereka mengikuti sunnah yang shahih dan sharih (jelas).

Para ulama pengikut Imam Ahmad dan ulama yang lain, yakni pengikut Imam Malik dan Imam Syafi’i, secara terang-terangan mengharamkan perbuatan tersebut. Ada juga yang menyatakan, hal itu sebagai perbuatan makruh, namun sepatutnya membawa maknanya kepada karahah at tahrim (makruh yang berindikasi pengharaman) sebagai tanda bersangka baik kepada para ulama yang menyatakan demikian, sehingga mereka tidak disangka membolehkan perbuatan yang secara mutawatir dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan pelakunya beliau laknat.”

2. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia pernah berkata: Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak diambil nyawanya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas. Ketika dalam keadaan demikian, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الَْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

"Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)".

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal itu saat mendekati kematiannya, untuk memperingatkan umatnya dari perbuatan mereka (Yahudi dan Nasrani) itu. Seandainya bukan karena peringatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, niscaya kubur beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan ditampakkan; hanya saja beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam khawatir, jika (kubur beliau) akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”

Syaikh Shalih Alu asy Syaikh menjelaskan, ada tiga bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.

Pertama : Menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujudnya. Bentuk yang paling bisa dipahami dari perkataan ‘mereka menjadikan kuburan tersebut sebagai masjid’ ialah, menjadikan kuburan sebagai masjid. Yaitu tempat melakukan shalat dan sujud di atasnya. Demikian ini jelas merupakan sarana yang sangat berbahaya, dan paling merusak yang mengantarkan kepada syirik dan berlaku ghuluw kepada kuburan.

Kedua : Shalat ke arah kuburan. Makna menjadikan kuburan sebagai masjid dalam bentuk ini, yaitu seseorang shalat di hadapan kuburan dengan menjadikannya sebagai kiblatnya. Dengan kondisi ini, dia telah menjadikan kuburan sebagai tempat ia merendahkan dan menghinakan dirinya.

Masjid di sini bukan lagi semata-mata berarti tempat sujud –meletakkan dahi di atas tanah–, tetapi berarti tempat merendahkan dan menghinakan diri. Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid, maksudnya, menjadikannya sebagai kiblat. Karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat ke arah kuburan, karena merupakan salah satu sarana kepada sikap pengagungan kuburan.

Ketiga : Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan bangunan itu adalah masjid. Jika yang dikubur itu seorang nabi, maka mereka membuat bangunan di atasnya. Mereka lantas menjadikan di sekeliling kuburan itu sebagai masjid dan menjadikan tempat itu sebagai tempat beribadah dan shalat.

Adapun perkataan ‘Aisyah bahwa ‘beliau memperingatkan (umatnya) dari perbuatan mereka (Yahudi dan Nasrani)’, maka di dalamnya terdapat isyarat yang menjadi penyebabnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, melaknat Yahudi dan Nasrani dalam hadits ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin memperingatkan para sahabatnya agar jangan sampai mengikuti langkah-langkah kedua Ahli Kitab tersebut. Dan ternyatalah mereka, para sahabat, menerima peringatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam itu dan mengamalkan wasiat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kemudian perkataan ‘Aisyah ‘dan seandainya bukan karena hal itu, niscaya kuburan beliau ditampakkan’. Maksudnya, kalau bukan karena peringatan dan kekhawatiran beliau n bahwa kuburan beliau dijadikan masjid oleh umatnya sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani, niscaya kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di luar rumahnya, berdampingan dengan kuburan-kuburan para sahabat di Baqi atau selainnya. Di samping alasan ini, ada juga alasan lain, yaitu sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu :

إِنَّ الأَنْبِيَاءَ يُقْبَرُونَ حَيْثُ يُقْبَضُونَ

"Sesungguhnya para nabi itu dikuburkan di mana mereka diwafatkan".

Adapun Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah dimaklumi, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat di dalam rumah ‘Aisyah.

Kemudian perkataan ‘Aisyah selanjutnya ‘hanya saja beliau khawatir (kuburannya) akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, terdapat dua riwayat.

Berdasarkan riwayat pertama, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendirilah yang mengkhawatirkan hal tersebut, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan ummatnya untuk menguburkannya di tempat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat. Sedangkan berdasarkan riwayat kedua, maka kemungkinan yang mengkhawatirkan hal itu adalah para sahabat. Artinya, mereka khawatir hal itu terjadi pada sebagian umat sehingga mereka pun tidak menampakkan kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , karena dikhawatirkan umat Islam berlebih-lebihan dan terlalu mengagung-agungkan kuburan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ditampakkan.

Imam al Qurthubi berkata,”Oleh karena itulah, kaum muslimin berusaha semampu mungkin menutup jalan yang mengarah kepada pemujaan kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara meninggikan dinding tanahnya dan menutup rapat pintu-pintu masuk ke arahnya dengan menjadikan dindingnya mengitari kuburan beliau. Mereka pun takut apabila letak kuburan beliau n dijadikan kiblat bagi orang-orang yang melakukan shalat sehingga seakan shalat yang menghadap ke arahnya tersebut merupakan suatu wujud beribadah. Karenanya, mereka kemudian membangun dua dinding dari dua sudut kuburan bagian utara, dan mengalihkan keduanya hingga bertemu pada sudut yang membentuk segitiga dari arah utara sehingga tidak memungkinkan siapa pun untuk menghadap ke arah kuburan beliau.”

3. Diriwayatkan oleh Muslim dari Jundub bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Aku mendengar bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda lima hari sebelum beliau wafat, ‘Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak, bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil. Seandainya aku menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Ketahuilah bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, maka janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.’”

Al Khalili berkata,”Pengingkaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap perbuatan mereka tersebut dapat diartikan dengan dua makna. Pertama, mereka bersujud terhadap kuburan para nabi untuk mengagungkan utusan Allah tersebut. Kedua, mereka memang menganggap boleh melakukan shalat di kuburan para nabi dan menghadap ke arah ketika melakukan shalat, karena mereka memandang hal itu sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan cerminan sikap pengagungan yang sangat kepada para nabi tersebut.

Makna pertama merupakan syirik jaliy (bentuk syirik yang jelas). Sedangkan makna kedua merupakan syirik khafiy (bentuk syirik yang tersembunyi). Oleh karena itu, mereka layak untuk dilaknat.”

Syaikh Shalih Alu asy Syaikh berkata,”Keterkaitan hadits ini dengan permasalahan sikap keras Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharamkan menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid (tempat ibadah), meskipun mungkin saja orang yang melakukannya beribadah hanya kepada Allah. Hal itu, karena perbuatan tersebut termasuk di antara sarana-sarana yang mengantarkan kepada syirik besar. Telah ditetapkan di dalam kaidah-kaidah syariat dan telah disepakati oleh para muhaqqiq, bahwa menutup pintu (celah) yang mengantarkan kepada kesyirikan dan kepada perbuatan haram adalah wajib; karena syariat datang untuk menutup pokok-pokok perbuatan-perbuatan haram dan menutup celah-celah menuju kepadanya. Sehingga wajib menutup setiap pintu dari pintu-pintu kesyirikan kepada Allah. Di antara pintu-pintu itu ialah, menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Karena itu, tidak sah shalat yang dilakukan di dalam masjid yang dibangun di atas kuburan karena hal itu menafikan larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang, namun orang-orang itu melakukannya, padahal larangan beliau tertuju kepada tempat shalat itu dilakukan sehingga shalatnya pun batal. Jadi, orang yang shalat di dalam masjid yang dibangun di atas kuburan, maka shalatnya batal, tidak sah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ‘ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid’, maksudnya, dengan membangun masjid di atasnya dan shalat di sekitarnya, ‘karena sungguh aku larang kalian darinya’.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Rasulullah n , (pada) menjelang akhir hayatnya (sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jundub) telah melarang umatnya untuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian, tatkala dalam keadaan hendak diambil nyawanya –sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah– beliau melaknat orang yang melakukan perbuatan itu. Shalat di sekitar kuburan termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah walaupun tidak membangunnya. Inilah makna kata-kata Aisyah ‘dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah’, karena para sahabat belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kubur beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal setiap tempat yang digunakan untuk melakukan shalat di dalamnya, itu berarti sudah dijadikan sebagai masjid; bahkan setiap tempat yang dipergunakan untuk shalat disebut masjid sebagai yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Telah dijadikan bumi ini untukku sebagai masjid dan sebagai sarana bersuci.”.

Kesimpulannya : Shalat di kuburan tidak boleh, baik itu shalat menghadap ke arahnya, atau shalat di dekatnya karena mengharap berkah tempat tersebut, atau tidak mengharap berkahnya, tetapi hanya shalat nafilah (selain shalat jenazah). Semua itu tidak boleh. Baik di atas kuburan itu ada bangunan, seperti masjid, atau tidak bangunan di atasnya, maka shalat di atasnya tetap tidak boleh.

Di dalam Shahih al Bukhari, terdapat hadits bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jadikanlah di antara shalat kalian itu dilakukan di rumah-rumah kalian, dan jangan di kuburan.” Juga disebutkan di dalam Shahih al Bukhari perkataan beliau kepada Umar Radhiyallahu 'anhu ketika melihat sekelompok orang shalat di dekat sebuah kubur ‘kuburan, kuburan’, maksud beliau, jauhilah kuburan, jauhilah kuburan. Ini menunjukkan, shalat di kuburan tidak diperbolehkan, karena merupakan pengantar kepada kesyirikan. Lebih parah lagi jika di kuburan tersebut dibangun bangunan, lalu menjadikan bangunan-bangunan sekitar kuburan itu sebagai masjid untuk shalat, berdoa, membaca al Qur`an, dan semisalnya.

Maraji:
1. Fath al Majid Syarh Kitab at Tauhid.
2. At Tamhid li Syarhi Kitab at Tauhid, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh.
3. Al Qaul al Mufid, Jilid I, karya Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

http://almanhaj.or.id/content/2707/slash/0

Postingan populer dari blog ini

KEKELIRUAN DALAM MENGUCAPKAN KATA "WA IYYAKUM"

KEKELIRUAN DALAM MENGUCAPKAN KATA "WA IYYAKUM" Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Pijat Payudara Selama Menyusui

Masase Payudara untuk Pemeliharaan Payudara Bagi sebagian ibu, aktivitas menyusui kerap dihubungkan dengan keindahan payudara. Alasan inilah yg membuat mereka enggan berlama-lama menyus ui. Pakar ASI Dr. Utami Roesli Sp.A. dalam sebuah se minar ASI mengungkapkan bahwa sesungguhnya bukan menyusui yg mengubah bentuk payudara, tapi proses kehamilanlah yg menyebabkan perubahan itu. Dan bila ada keinginan unt u k mengembalikan bentuknya seperti saat masih gadis, lebih baik lupakanlah. Sebab memang tak mungkin. Namun, itu bukan berarti tak ada cara membuat payudara tetap terlihat indah dan kencang. Apalagis etelah persalinan dan di saat anda menyusui. Selain terlihat indah, perawatan payudara yg dilakukan dengan benar dan teratur akan memudahkan si kecil mengkonsumsi ASI. Pemeliharaan ini juga bisa merangsang produksi ASI dan m engurangi resiko luka saat menyusui. Berikut ini kiat masase payudara yg dapat anda prakt ekkan sejak hari ke-2 usai persalinan, sebanyak 2 kali sehari.

Apakah Saudara Sepersusuan Menjadi Mahram?

Apakah Saudara Sepersusuan Menjadi Mahram? Pertanyaan: Saya mau bertanya. Misalnya Ummu Aisyah menyusui Rifqi (anak orang lain) sebanyak lima kali atau lebih sampai kenyang, apakah Aisyah haram dinikahi Rifqi karena sebab sepersusuan? Bagaimana hukum saudara laki-laki Rifqi yang tidak menyusu pada Ummu Aisyah, apakah juga haram menikahi Aisyah?