FIQIH TA’ZIYAH
Oleh : Syaikh Musa’id bin Qashim Al-Falih
DEFINISI TA’ZIYAH
Kata “ta’ziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-aza’u. Yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan [1].
Dalam terminologi ilmu fikih, “ta’ziyah” didefinisikan dengan beragam redaksi, yang substansinya tidak begitu berbeda dari makna kamusnya.
Penulis kitab Radd Al-Mukhtar mengatakan : “Bertaz’iyah kepada ahlul mayyit (keluarga yang ditinggal mati) maksudnya ialah, menghibur mereka supaya bisa bersabar, dan sekaligus mendo’akanya” [2]
Imam Al-Khirasyi di dalam syarahnya menulis : “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya” [3]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar lebih bersabar, dan meghiburnya supaya melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya” [4]
HUKUM FIQIH TA’ZIYAH
Berdasarkan kesepakatan para ulama, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, hukumnya adalah sunnah [5]. Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya, Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut” [Hadits Riwayat Tirmidzi 2/268. Kata beliau : “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu” kecuali dari jalur Adi bin Ashim”, Ibnu Majah 1/511]
Dalil lainnnya, Abdullah bin Amr bin Al-Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha : “Wahai Fathimah ! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab, “Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini” [Hadits Riwayat Abu Dawud 3/192]
HIKMAH TA’ZIYAH
Disamping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak [6]. Antara lain.
[1]. Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat
[2].Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala
[3].Memotivasi untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah
[4]. Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
[5]. Melarangnya dari berbuat nihayah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
[6]. Mendo’akan mayit dengan kebaikan
[7].Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.
WAKTU TA’ZIYAH
Jumhur ulama memandang bahwa ta’ziyah diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan. [7]
Pendapat lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Tsauri, bahwa beliau memandang makruh ta’ziyah setelah mayitnya dikuburkan. Alasannya, setelah mayitnya dikuburkan, berarti masalahnya juga selesai. Sedangkan ta’ziyah itu sendiri disyari’atkan guna menghibur agar orang yang tertimpa musibah bisa melupakannya. Oleh karena itu, hendaknya ta’ziyah dilakukan pada waktu terjadinya musibah. Kala itu, orang yang tertimpa musibah benar-benar dituntut untuk bersabar. [8]
Pendapat yang rajih, yaitu pendapat jumhur ulama. Alasannya, orang yang tertimpa musibah memerlukan penghibur untuk mengurangi beban musibah yang menghimpitnya. Penglipur ini tentu saja diperlukan, sekalipun mayitnya sudah dikuburkan, sebagaimana ia memerlukannya sebelum dikuburkan. Bahkan ta’ziyah setelah mayit dikuburkan hukumnya lebih utama. Sebab, sebelumnya ia sibuk mengurus mayit. Dan orang yang tertimpa musibah merasa lebih kesepian dan sengasara karena betul-betul berpisah dengan si mayit. [9]
JANGKA WAKTU TA’ZIYAH
Ta’ziyah disyariatkan dalam jangka waktu tiga hari setelah mayitnya dilkebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan pembatasan yang final, tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya saja). Dan jumhur ulama meghukumi makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih dari tiga hari. [10] Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari”[Hadits Riwayat Bukhari 2/78, Muslim 4/202]
Alasan lainnya, setelah tiga hari, biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang hendak melayatnya, atau orang yang hendak dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati) tidak ada dalam jangka waktu yang tiga hari tersebut.
Sebagian ulama madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah membebaskannya begitu saja. Sampai kapan saja, tidak ada pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari ta’ziyah ini untuk mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama.
Yang lebih kuat dari dua pendapat ini, adalah pendapat jumhur ulama.
MENGULANG-ULANG TA’ZIYAH
Mengulang-ulang ta’iyah, hukumnya dimakruhkan. Tidak boleh berta’ziyah di kuburan, apabila sebelumnya sudah melakukannya.
Hikmah sekaligus alasannya, karena tujuan dilakukannya ta’ziyah sudah dicapai pada ta’ziyah yang pertama kali, sehingga tidak perlu diulangi lagi, supaya tidak membuat kesedihannya terus menghimpitnya. [11]
KEPADA SIAPA BERTA’ZIYAH
Sunnahnya ta’ziyah dilakukan kepada seluruh orang yang tertimpa musibah (ahlul mushibah), baik orang tua, anak-anak, dan apalagi orang-orang yang lemah. Lebih khusus lagi kepada orang-orang tertentu dari mereka yang merasakan kehilangan dan kesepian karena ditimpa musibah tersebut. Tetapi para ulama bersepakat, bahwa seorang lelaki tidak boleh berta’ziyah kepada seorang perempuan muda, sebab bisa menimbulkan fitnah (bahaya), terkecuali mahramnya. [12]
Jika saat ta’ziyah mengetahui adanya kebatilan, maka kebenaran tidak boleh diabaikan atau ditinggalkan. Orang yang meratap dan merobek bajunya, dan sebagainya, ia tidak boleh dibiarkan. Begitu juga untuk hal-hal lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1227H/2006M, Judul Artikel Fiqih Ta’ziyah oleh Muhammad As-Sunde. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
_________
Foote Note
[1]. Lihat Mukhtar Ash-Shihah, halm 431, Al-Qamus Al-Muhith 4/364 dan Lisan Al-Arab 15/52
[2]. Radd Al-Mukhtar 1/603
[3]. Syarh Al-Khirasyi Ala Mukhtashar Khalil 2/129
[4]. Al-Adzkar An Nawawiyah, hlm 126. Lihat juga Al-Majmu 5/304
[5]. Al-Mughni 3/480. Lihat juga Al-Ifshah 1/193
[6]. Lihat Syarh Al-Khirasyi 2/130, Al-Balighah 2/82
[7]. Lihat Hasyiyah Radd Al-Mukhtar 1/604, Syarh Al-Khirasy 2/130, Al-Majmu 5/306, Al-Mughni 2/480, Al-Inshaf 2/563
[8]. Al-Mughni 3/480, Nail Al-Authar 4/95
[9]. Hasyiah Radd Al-Mukhtar 1/604, Al-Majmu 5/306
[10]. Hasyiah Radd Al-Mukhtar 1/604, Al-Majmu 5/306, Al-Inshaf 2/564, Kasysyaf Al-Qina 2/160
[11]. Lihat Hasyiah Radd Al-Mukhtar 1/604, Al-Furu 2/294, Al-Inshaf 2/564
[12]. Lihat Syarh Al-Khirasyi 2/129, Al-Majmu 5/305, Al-Adzkar An-Nawawiyah hlm.127, Al-Mughni 3/480
TA’ZIYAH KEPADA ORANG KAFIR
Ada perbedaan pendapat dalam masalah melayat kepada orang kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan). Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memperbolehkanya. [13] Adapun Imam Ahmad bersikap tawaqquf, beliau tidak berpendapat apa-apa dalam masalah ini. [14]
Sedangkan para sahabat Imam Ahmad memandang ta’ziyah sama dengan ‘iyadah (menengok atau besuk). Dan dalam masalah ini, mereka memiliki dua pendapat.
Pertama : Menengok dan melayat orang kafir hukumnya terlarang atau haram.[15] Dalil yang mereka pergunakan ialah.
“Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka, himpitlah ke tempat yang sempit” [Hadits Riwayat Muslim 7/5]
Dalam hal ini ta’ziyah disamakan dengan memulai salam kepada mereka.
Kedua : Membolehkan ta’ziyah dan menengoknya, dengan dalil hadits berikut ini.
“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”. Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata, “Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak ini dari siksa neraka” [Hadits Riwayat Bukhari 2/96]
Pendapat yang rajih, yaitu tidak boleh melayat orang kafir dzimmi, terkecuali apabila membawa kemaslahatan –menurut dugaan yang rajih- misalnya mengharapkannya masuk Islam. Wallahu a’lam
MELAYAT ORANG MUSLIM YANG DITINGGAL MATI OLEH SEORANG KAFIR
Jumhur ulama memperbolehkan ta’ziyah kepadanya. [16] Adapun pendapat yang melarangnya, dipegang oleh Imam Malik dan salah satu riwayat dari mazhab Hanabilah. [19]
Yang rajih dalam masalah ini, ialah pendapat jumhur ulama. Dalilnya ialah keumuman dalil-dalil yang memerintahkan ta’ziyah.
APA YANG DIUCAPKAN KETIKA BERTA’ZIYAH?
Berdasarkan pendapat para ulama dalam masalah ini, bisa disimpulkan bahwa mereka tidak menentukan bacaan-bacaan khusus yang harus diucapkan ketika berta’ziyah.
Ibnu Qudamah berpendapat [18] : “Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada ucapan tertentu yang khusus dalam ta’ziyah. Namun diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melayat seseorang dan mengucapkan.
“Semoga Allah merahmatimu dan memberimu pahala” [Hadits Riwayat Tirmidizi 4/60]
Imam Nawawi berpendapat [10], yang paling baik untuk diucapkan ketika ta’ziyah, yaitu apa yang diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah seorang utusan yang datang kepadanya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : Kembalilah kepadanya dan katakanlah kepadanya.
“Sesungguhnya adalah milik Allah apa yang Dia ambil, dan akan kembali kepadaNya apa yang Dia berikan. Segala sesuatu yang ada disisiNya ada jangka waktu tertentu (ada ajalnya). Maka hendaklah engkau bersabardan mengaharap pahala dari Allah” [Hadits Riwayat Muslim 3/39]
Sebagian ulama mensunnahkan, agar ketika melayat orang muslim yang ditinggal mati oleh orang muslim, membaca.
“Semoga Allah melipatkan pahalamu, memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia memberikan rahmat kepada si mayit” [20]
Menurut madzhab Syafi’iyah, mendo’akan orang yang dilayat atau yang tertimpa musibah dengan mengucapkan : “Semoga Allah mengampuni si mayit, melipatkan pahalamu, dan memberimu pelipur yang baik” tetapi, ada juga yang berpendapat berdo’a dengan do’a apa saja. [21]
Adapun ketika melayat seorang muslim yang ditinggal mati oleh seorang kafir, maka cukup dengan mendo’akan orang-orang yang ditinggal mati ini saja dan tidak mendo’akan si mayit (yang kafir). Dan melayat orang kafir, sebagaimana telah dibahas di muka, tidak diperbolehkan, terkecuali membawa kemaslahatan.
Sedankan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah yang membolehkan melayat orang kafir karena ditinggal mati oleh seorang muslim, memberikan tuntunan do’a.
“Semoga Allah memberimu pelipur lara yang baik, dan semoga Dia mengampuni si mayit”.
Dan ketika yang meninggal adalah orang kafir, do’anya ialah.
“Semoga Allah menggantinya buatmu, dan semoga tidak mengurangi jumlahmu”
Maksudnya, supaya jumlah jizyah (upeti) yang diambil dari mereka tetap besar.[22]
Masalah ini dikomentari oleh Imam Nawawi : “Ini sangat bermasalah, sebab berdo’a agar orang kafir dan kekafiran tetap ada atau eksis. Sebaliknya, ini ditinggalkan saja” [23] Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi adalah benar.
Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh orang yang dilayat ? Dalam hal ini sama. Tidak ada ketentuan bacaan khusus yang harus dibaca sebagai jawaban kepada para pelayat.
Ada pendapat dari Mazhab Hanabilah, bahwasanya disunnahkan untuk mengucapkan.
“Semoga Allah mengabulkan do’amu. Dan semoga Dia mengasihi kita, juga kamu” [24]
DUDUK-DUDUK KETIKA TA’ZIYAH
Berkumpul dan membaca Al-Qur’an ketika melayat, bukan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di pekuburan ataupun di tempat tidak diajarkan. [25] Jumhur ulama melarang duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati. Yang disyariatkan ialah, setelah mayat dikuburkan, sebaiknya kembali kepada kesibukannya masing-masing.
Larangan ini adalah makruh (makruh tanzih) apabila tidak dibarengi kemungkaran-kemungkaran lain. Adapun jika dibarengi dengan kemungkaran-kemungkaran, misalnya bid’ah-bid’ah, maka hukumnya haram. [26]
Adat yang biasa dilakukan oleh orang-orang, seperti duduk-duduk di tempat orang yang ditinggal mati, lalu dikeluarkan biaya untuk keperluan ini dan itu, mereka tinggalkan apa yang membuatnya maslahat ; pada saat yang sama, mereka mencela orang yang tidak mau mengikuti dalam acara tersebut. Dalam acara itu mereka melakukan hal-hal yang tidak disyariatkan, dan ini termasuk kegiatan bid’ah yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [27]
Dalam masalah ini ada yang berpendapat membolehkannya. Mereka ialah sebagian dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah. [28] Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia menceritakan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, ternyata Ibnu Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah terbunuh. Lalu beliau duduk. Beliau mengetahui jika di tempat itu ada kesedihan….[Hadits Riwayat Muslim 3/45]
Jawabannya atau bantahan dari pendapat ini ialah, bahwa kedatangan Rasulullah dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk, tidak bermaksud untuk ta’ziyah, dan tidak ada indikasi kea rah yang menguatkannya berta’ziyah. [29]
Maka dari itu, sebagian lagi dari ulama Hanabilah menyatakan, sebenarnya yang dimakruhkan adalah menginap di tempat orang yang ditinggal mati, duduk-duduk bagi orang yang sudah pernah melayat sebelumnya, atau duduk-duduk supaya bisa melayat lebih lama. [30]
Demikianlah beberapa point berkenaan dengan ta’ziyah. Semoga bermanfaat.
[Diambil dari kitab At-Taziyah oleh Syaikh Musa’id bin Qashim Al-Falih]
_________
Foote Note
[13]. Hasyiyah Radd Al-Mukhtar 1/604, Al-Muhadzdzab –dicetak besama Al-Majmu- 5/304
[14]. Al-Mughni 3/486, Ahkam Ahl Adz-Dzimmah 1/204
[15]. Al-Inshaf 2/566, Kasysyaf Al-Qina 2/161
[16]. Hasyiyah Radd Al-Mukhtar 1/604, Al-Majmu 5/306, Al-Inshaf 2/565
[17]. Hasyiyah Ad-Dusuqi 1/419, Al-Inshaf 2/566
[18]. Al-Mughni 3/480
[19]. Al-Adzkar, hlm 127
[20]. Lihat Hasyiyah Radd Al-Mukhtar 1/604, Al-Mughni 3/486, Al-Inshaf 2/565
[21]. Al-Majmu 5/306
[22]. Al-Majmu 5/306, Al-Mughni 3/486
[23]. Al-Majmu 5/306
[24]. Al-Mughni 3/487, Kasysyaf Al-Qina 2/161
[25]. Zadul Ma’ad 1/146
[26]. Al-Adzkar An-Nawawiyah hlm 127
[27]. Lihata Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta no. 38,diambil dari surat kabarAl-Muslimun
[28]. Hasyiyah Radd Al-Mukhtar 1/604, Syarh Al-Khirasyi 2/130
[29]. Lihat Radd Al-Mukhtar 1/604
[30]. Kasysyaf Al-Qina 2/160
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1227H/2006M, Judul Artikel Fiqih Ta’ziyah oleh Muhammad As-Sunde. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________________________
BEBERAPA PRAKTEK BID’AH DALAM TA’ZIYAH DAN PENYERTAANNYA
Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
[1].Berta’ziyah di kuburan. [Haasyiyatu Ibni Abidin I/843]
[2]. Berkumpul-kumpul di tempat taziyah (Zaadul Ma’ad I/304). Safar As-Sa’aadah, karya Fairuz Abadi, hal. 57. Juga kitab Ishlaabu Al-Masaajid an-Al-Bida wal Al-Awaa’id, karya Al-Qasimi, hal. 180-181. Dan lihat kembali masalah ke-113
[3]. Membatasi ta’ziyah hanya tiga hari saja. [Rujuk kembali masalah ke-113]
[4]. Membiarkan tempat gelaran lantai di rumah mayit yang disiapkan untuk orang-orang yang datang berta’ziyah. Mereka membiarkan gelaran itu begitu saja sehingga tujuh hari berlalu dan setelah itu disingkirkan. [Al-Madkhal III/279-280]
[5]. Ta’ziyah dengan mengucapkan : “Semoga Allah memperbanyak pahala untukmu, melimpahkan kesabaran kepadamu, juga mengaruniakan rasa syukur kepada kami dan juga dirimu. Sesungguhnya jiwa, harta, keluarga, dan anak-anak kita ini adalah pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyenangkan sekaligus anugrah-Nya yang diamanatkan. Semoga Dia membekalimu dengannya dalam kegembiraan dengan balasan pahala yang banyak, shalawat, rahmat, dan petunjuk. Jika engkau berharap mendapatkannya, maka bersabarlah. Jangan sampai kegelisahanmu membuat pahalamu hilang, sehingga engkau akan menyesal. Dan ketahuilah, bahwa kegelisahan itu tidak akan dapat mengembalikan sesuatu apapun atau menghilangkan kesedihan serta apa yang menimpa” [1]
[6]. Ta’ziyah dengan mengucapkan : “Sesungguhnya di sisi Allah terdapat tempat untuk menghibur dari segala macam musibah, dan pengganti dari semua yang hilang, maka hendaklah kalian benar-benar yakin kepada Allah, dan hanya kepadaNya-lah hendaknya kalian berharap. Sesungguhnya orang-orang yang diharamkan yang terhalangi dari pahala” [2]
[7]. Penyediaan makanan untuk tamu oleh keluarga si mayit. [Kitab, Talbis Iblis, hal.341, Fathu Qadiir 1/473, karya Ibnu Hamam, Al-Madkhal III/275-276 dan Ishlah Al-Masajid, hal. 181 Dan rujuk kembali masalah ke-115]
[8]. Mengundang tamu pada hari pertama, ketujuh dan keempat puluh, dan pada hari genap satu tahun. [Al-Khadimi, dalam Syarh Ath-Thariiq Al-Muhammadiyah, hal.3224, Al-Madkhal II/114, III/278-279]
[9]. Penyediaan makanan oleh pihak keluarga mayit pada hari Kamis pertama
[10]. Memenuhi undangan makan-makan oleh keluarga yang ditinggalkan. [Imam Muhammad Al-Barkawi di dalam kitab Jalaa-u Al-Quluub, hal.77]
[11]. Ucapan mereka : “Tidak ada yang boleh megangkat meja makan selama tiga hari, kecuali orang yang meletakkannya” [Al-Madkhal III/276]
[12]. Membuat makanan zalabiyah (semacam kue dadar) atau membelinya dan membeli aneka makanan untuk disediakan pada hari ke tujuh. [Al-Madkhal III/292]
[13]. Wasiat untuk menyediakan makanan dan menyambut para tamu pada hari kematiannya atau setelahnya, dan dengan memberikan sejumlah uang bagi orang-orang yang membaca Al-Qur’an untuk ruhnya atau bertasbih atau bertahlil untuknya. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/325]
[14]. Berwasiat supaya ada beberapa orang yang bermalam di kuburannya selama empat puluh hari atau lebih atau bisa juga kurang. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/326]
[15]. Mewakafkan beberapa hal, terutama uang untuk bacaan Al-Qur’an Al-Azhim, atau agar dengan uang itu orang-orang mau mengerjakan shalat Sunnah atau bertahlil atau bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian pahalanya dihadiahkan kepada orang yang berwakaf tadi atau ruh orang yang menziarahinya. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/323]
[16]. Sedekah yang dikeluarkan wali mayit untuk si mayit sebelum malam pertama berlalu dengan sesuatu yang bisa disedekahkan. Jika tidak mempunyai apa yang hendak disedekahkan maka cukup baginya mengerjakan shalat dua rakaat yang pada masing-masing rakaat membaca Al-Fatihah, ayat Kursi satu kali dan sura At-Takaatsur sepuluh kali. Setelah selesai, membaca : “Ya Allah, aku kerjakan shalat ini sedang Engkau tahu apa yang aku kehendaki darinya. Ya Allah, kirimkanlah pahalanya ke kuburan fulan, si mayit” [3]
[17].Bersedekah atas nama mayit dengan makanan yang disukai si mayit.
[18]. Bersedekah atas nama ruh orang-orang yang sudah meninggal pada tiga bulan berikut : Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
[19]. Menggugurkan kewajiban shalat. [Ishlaahu Al-Masaajid, hal. 281-283]
[20]. Bacaan Al-Qur’an yang pahalanya ditujukan kepada orang-orang yang meninggal dunia. [As-Sunan, hal. 63-65. Lihat juga masalah ke-24 dan 121]
[21]. Bertasbih untuk mayit. [As-Sunan, hal 11 dan 65]
[22]. Itaqah (memerdekakan budak) untuk sang mayit. [As-Sunan] [4]
[23]. Membaca Al-Qur’an sekaligus menghatamkannya di kuburan yang ditujukan untuk mayit. [Safaru As-Sa’aadah, hal. 57. Al-Madkhal I/266 dan 267]
[24].Berangkat pada pagi buta ke kuburan mayit yang mereka makamkan kemarin, disertai kaum kerabat dan kenalan mereka. [Al-Madkhal II/113-114, 2783. Dan Ishlaah Al-Masaajid hal.270-271]
[25]. Menggelar karpet atau yang semisalnya di tanah, bagi orang-orang yang datang pada dini hari atau untuk yang lainnya. [Al-Madkhal III/278]
[26]. Mendirikan kemah (tenda) di atas kuburan. [Al-Madkhal]
[27]. Menginap di kuburan selama empat puluh hari atau kurang atau bisa juga lebih. [Jalaa’u Al-Quluub, hal. 8]
[28]. Memberikan pujian kepada mayit pada malam keempat puluh atau pada saat berlalunya satu tahun, yang dikenal dengan sbutan “ Mengenang Jasa” [Al-Ibdaa, hal. 125]
[29]. Menggali kuburan sebelum kematian datang, sebagai upaya mempersiapkan diri. [Lihat masalah ke-109]
__________
Foote Note
[1]. Keduanya dinilai baik di dalam kitab Syarh Asy-Syir’ah, hal. 562 dan 263 dan lain-lainnya. Yang pertama diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah berta’ziyah kepada Mu’adz bin Jabal atas kematian puternya, tetapi ia merupakan hadits maudhu. Dan yang kedua diriwayatkan tentang ta’ziyah Khidir kepada keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas wafatnya beliau, tetapi hadits ini pun dha’if. Diriwayatkan Asy-Syafi’i di dalam kitab Musnad-nya (1820). Dan dinilai dha’if oleh Ibnu Katsir di dalam kitab Taarikh-nya I/332. dan peringatan terhadap hadits pertama telah diberikan pada pembahasan ke-112.
[2]. Ibid
[3]. Anehnya, di antara kitab yang darinya saya menukil bid’ah ini adalah Syarhu Asy-Syir’ah, hal. 568. Dia menyebutkan : “Yang sunnah dikerjakan adalah hendaklah sang wali mayit bersedekah..” Dan sunnah ini sama sekali tidak mempunyai dasar, yang dimaksudkan mungkin adalah Sunnah (kebiasaan) para syaikh, sebagaimana yang ditafsirkan oleh beberapa orang terhadap pendapat salah seorang pensyarah : Yang termasuk sunnah adalah melafazhkan niat saat akan mengerjakan shalat
[4]. Dia mengatakan, ada hadits berbunyi : “Barangsiapa membaca Qulhuwallahu Ahad seribu kali berarti dia telah membeli diirnya dari Neraka”. Dan hadits ini berstatus maudhu.
[Disalin dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi Indonesia Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM, Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]