JAKARTA, KOMPAS.com - Penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) ASEAN-China dikhawatirkan akan berdampak pada membanjirnya obat-obatan impor China apalagi bila tidak ada perlindungan dari pemerintah. Hal ini bisa menyebabkan banyak industri farmasi dalam negeri makin terpuruk dan terancam gulung tikar.
"Dengan harga yang murah, obat-obatan impor China bisa membanjiri pasaran. Apalagi China lebih banyak memproduksi dan memasarkan obat-obatan generik bermerek," kata Ketua Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Ch Sunarjo, Minggu (10/1/2010) malam, di Jakarta.
GP Farmasi beranggotakan 208 perusahaan farmasi, dan 15 perusahaan di antaranya termasuk perusahaan asing yang memiliki pabrik di Indonesia. Adapun ratusan perusahaan farmasi lain yang menjadi anggota GP Farmasi termasuk industri nasional skala kecil dan menengah.
Sebelum FTA berlaku, Indonesia sudah mengalami ketergantungan terhadap China terutama dari segi pasokan bahan baku obat. Pada tahun 80-an, sebanyak 80 persen dari bahan baku obat diimpor dari Eropa, dan sisanya diimpor dari India dan China. Sekarang justru sebaliknya, 80 persen dari total jumlah bahan baku obat Indonesia diimpor dari China, dan sebagian kecil dari India.
"Kalau volume besar, harga murah, maka bahan baku obat diambil dari China. Jadi bahan baku obat diimpor dari China, kemudian diformulasi di dalam negeri," kata Anthony.
Selain obat-obatan tradisional, ternyata saat ini China mulai merajai pasar obat moderen atau rasional termasuk obat hipertensi, obat bagi penyandang diabetes, dan obat-obatan anti kanker.
Sementara sebagian kecil bahan baku produksi obat diimpor dari India. Bahkan India sudah memasuki tahap penelitian dasar obat-obatan dengan teknologi canggih misalnya obat-obatan dengan sistem pengiriman obat baru sehingga pasien tidak perlu mengonsumsi obat tiga kali dalam sehari tetapi cukup satu kali sehari. Jadi, India lebih unggul dalam teknologi produksi obat-obatan.
Selain gencar memproduksi bahan baku obat, ternyata China juga mulai mengembangkan produksi obat modern yang termasuk dalam kategori generik bermerek dengan harga sangat murah. "Jadi China bukan hanya memproduksi bahan baku, tetapi juga mu lai memproduksi bahan jadi obat. Ini yang bisa memukul industri farmasi, karena China bisa menjual produknya dengan harga lebih murah," ujarnya.
Dengan sistem jaminan kesehatan sekarang, sejumlah instansi kini cenderung memilih obat-obatan generik dan harga yang paling murah. Ini memang menguntungkan bagi masyarakat luas karena bisa mendapat obat dengan harga lebih murah. "Tetapi di sisi lain, ini bisa jadi ancaman keberlangsungan industri farmasi dalam negeri," kata dia menambahkan.
Dengan penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas atau FTA ASEAN-China, obat-obatan impor dari China diperkirakan akan menyerbu pasar Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Untuk dapat masuk ke Indonesia, produk obat harus didaftarkan dan dievaluasi terlebih dulu sebelum kemudian diberi izin edar oleh otoritas setempat.
"Saat mendaftarkan produknya, produsen obat harus bisa memenuhi persyaratan cara pembuatan obat yang baik atau CPOB. Dengan pola Pemerintah China sekarang, kemungkinan berbagai persyaratan itu bisa dipenuhi para produsen China dalam waktu 2-3 tahun sehingga beberapa tahun ke depan Indonesia akan menghadapi serbuan obat imor dari China," kata dia.