Batas Usia Penyusuan Bayi yang Dapat Menjadikan Mahram & Penyusuan Orang Dewasa
Abu Al-Jauzaa'
Jumhur ulama berpendapat bahwa batas usia penyusuan bayi yang dapat merubah statusnya menjadi mahram adalah dua tahun, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh” [QS. Al-Baqarah : 233].
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا يحرم من الرضاعة إلا ما فتق الأمعاء في الثدي، وكان قبل الفطام
“Penyusuan tidaklah mengharamkan kecuali apa yang mengenyangkan perut di masa menyusui yang dilakukan sebelum masa penyapihan” [HR. At-Tirmidzi no. 1152, Ibnu Hibban no. 4224, dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath no. 7513; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/589-590].
Ketentuan inilah yang diamalkan oleh jumhur ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya bahwasannya penyusuan yang dapat merubah status menjadi mahram adalah jika dilakukan terhadap bayi tidak melebihi usia dua tahun.
عن عائشة رضي الله عنها : أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل عليها وعندها رجل، فكأنه تغير وجهه، كأنه كره ذلك، فقالت: إنه أخي، فقال (انظرن من إخوانكن، فإنما الرضاعة من المجاعة).
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke tempatnya yang pada saat itu ada seorang laki-laki bersamanya. (Melihat hal itu), maka berubahlah raut muka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang sepertinya tidak menyukai hal itu. Maka ‘Aisyah berkata : “Sesungguhnya ia adalah saudaraku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Coba lihat kepada saudara-saudaramu. Sesungguhnya yang dinamakan penyusuan hanya karena rasa lapar” [HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455].
كان ابن عباس يقول : لا رضاع إلا ما كان في الحولين
Adalah Ibnu ‘Abbas pernah berkata : “Tidak ada penyusuan kecuali dalam masa dua tahun (semenjak bayi lahir)” [HR.’Abdurrazzaq no. 13903 dan Ibnu Abi Syaibah 4/290; shahih].
Al-Imam Malik menyebutkan dalam kitabny Al-Muwaththa’ dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia berkata :
لا رضاعة إلا لمن أرضع في الصغر ولا رضاعة لكبير
“Tidak dinamakan penyusuan kecuali mereka yang disusui waktu kecil. Dan tidak ada penyusuan bagi orang yang telah dewasa” [HR. Malik no. 1394].
Masih dalam kitab yang sama, Al-Imam Malik menyebutkan riwayat :
عن عبد الله بن دينار أنه قال جاء رجل إلى عبد الله بن عمر وأنا معه عند دار القضاء يسأله عن رضاعة الكبير فقال عبد الله بن عمر جاء رجل إلى عمر بن الخطاب فقال إني كانت لي وليدة وكنت أطؤها فعمدت امرأتي إليها فأرضعتها فدخلت عليها فقالت دونك فقد والله أرضعتها فقال عمر أوجعها وأت جاريتك فإنما الرضاعة رضاعة الصغير
Dari ‘Abdullah bin Dinaar, ia berkata : “Datang seorang laki-laki yang bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang penyusuan ketika dewasa, dimana pada waktu itu aku bersamanya (Ibnu ‘Umar) di gedung pengadilan. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : “Pernah satu ketika seorang laki-laki yang mendatangi ‘Umar bin Al-Khaththab dan berkata : ‘Aku mempunyai seorang budak perempuan yang aku gauli. Lantas istriku dengan sengaja menyusuinya. Satu ketika aku hendak masuk menemui budakku itu (untuk menggaulinya), maka istriku berkata : ‘Jangan lakukan ! Demi Allah, ia telah aku susui’. ‘Umar kemudian menjawab : ‘Pukul istrimu, dan gaulilah budakmu. Karena penyusuan itu hanya dilakukan kepada anak kecil” [HR. Malik no. 1403].
‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf membawakan riwayat dari Abu ‘Athiyyah Al-Wadi’iy, ia berkata :
جاء رجل إلى بن مسعود فقال إنها كانت معي امرأتي فحصر لبنها في ثديها فجعلت أمصه ثم أمجه فأتيت أبا موسى فسألته فقال حرمت عليك قال فقام وقمنا معه حتى انتهى إلى أبي موسى فقال ما أفتيت هذا فأخبره بالذي أفتاه فقال بن مسعود وأخذ بيد الرجل أرضيعا ترى هذا إنما الرضاع ما أنبت اللحم والدم فقال أبو موسى لا تسألوني عن شيء ما كان هذا الحبر بين أظهركم
“Datang seorang laki-laki kepada Ibnu Mas’ud dan berkata : ‘Di saat kedua payudara istriku penuh air susu, aku menghisapnya dan kemudian aku buang. Lalu aku mendatangi Abu Musa untuk menanyakan hal tersebut. Maka Abu Musa berkata : ‘Ia menjadi haram bagimu’. Kemudian Ibnu Mas’ud bangkit dan kami pun pergi bersamanya hingga menemui Abu Musa. Ibnu Mas’ud bertanya : ‘Apa yang engkau fatwakan terhadap kasus ini ?’. Maka Abu Musa mengkhabarkan kepadanya apa yang telah ia fatwakan. Sambil memegang tangan laki-laki itu, Ibnu Mas’ud berkata : ‘Apakah orang sebesar ini masih engkau anggap menyusui ? Yang dinamakan penyusuan itu hanyalah yang daat menumbuhkan daging dan darah’. Maka Abu Musa berkata : ‘Janganlah kalian bertanya kepadaku tentang masalah apapun selama Ibnu Mas’ud masih ada di tengah-tengah kalian” [HR. ‘Abdurrazzaq no. 13895].
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa penyusuan yang dianggap mengharamkan itu jika dilakukan pada saat masih kecil, tidak melebihi usia dua tahun.
Namun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa penyusuan yang merubah seseorang menjadi mahram dapat dilakukan kepada seseorang yang telah dewasa. Mereka berdalil dengan hadits yang dibawakan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya :
عن عائشة ؛ قالت: جاءت سهلة بنت سهيل إلى النبي صلى الله عليه وسلم. فقالت : يا رسول الله ! إني أرى في وجه أبي حذيفة من دخول سالم (وهو حليفه). فقال النبي صلى الله عليه وسلم : " أرضعيه " قالت: وكيف أرضع ؟ وهو رجل كبير. فتبسم رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال : " قد علمت أنه رجل كبير".
Dari ‘Aisyah, ia berkata : “Telah datang Sahlah binti Suhail kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melihat ketidaksenangan pada wajah Abu Hudzaifah dengan masuknya Saalim’. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Susuilah dia’. Sahlah berkata : “Bagaimana aku menyusuinya, padahal ia seorang laki-laki yang telah besar/dewasa ?’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan bersabda : “Sungguh aku telah tahu bahwa ia laki-laki yang telah besar” [HR. Muslim no. 1453].[1]
Dalam Al-Muwaththa’ dibawakan riwayat yang lebih panjang daripada dalam Shahih Muslim :
أن أبا حذيفة بن عتبة بن ربيعة وكان من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وكان قد شهد بدرا وكان تبنى سالما الذي يقال له سالم مولى حذيفة كما تبنى الرسول صلى الله عليه وسلم زيد بن حارثة وأنكح أبو حذيفة سالما وهو يرى أنه ابنه أنكحه بنت أخيه فاطمة بنت الوليد بن عتبة بن ربيعة وهي يومئذ من المهاجرات الأول وهي من أفضل أيامى قريش فلما أنزل الله تعالى في كتابه في زيد بن حارثة ما أنزل فقال { ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا آبائهم فإخوانكم في الدين ومواليكم } رد كل واحد من أولئك إلى أبيه فإن لم يعلم أبوه رد إلى مولاه فجاءت سهلة بنت سهيل وهي امرأة أبي حذيفة وهي من بني عامر بن لؤي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت يا رسول الله كنا نرى سالما ولدا وكان يدخل علي وأنا فضل وليس لنا إلا بيت واحد فماذا ترى في شأنه فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أرضعيه خمس رضعات فيحرم بلبنها وكانت تراه ابنا من الرضاعة فأخذت بذلك عائشة أم المؤمنين فيمن تحب أن يدخل عليها من الرجال فكانت تأمر أختها أم كلثوم بنت أبي بكر الصديق وبنات أخيها أن يرضعن من أحبت أن يدخل عليها من الرجال وأبى سائر أزواج الرسول صلى الله عليه وسلم أن يدخل عليهن بتلك الرضاعة أحد من الناس وقلن لا والله ما نرى الذي أمر به رسول الله صلى الله عليه وسلم سهلة بنت سهيل إلا رخصة من رسول الله صلى الله عليه وسلم في رضاعة سالم وحده لا والله لا يدخل علينا بهذه الرضاعة أحد فعلى هذا كان أزواج النبي صلى الله عليه وسلم في رضاعة الكبير
“Bahwasannya Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah termasuk shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mengikuti perang Badr. Ia mengangkat Saalim sebagai anak (= anak angkat), yang kemudian dipanggil Saalim Maula Abu Hudzaifah, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat anak Zaid bin Haaritsah. Abu Hudzaifah menikahkan Saalim – dimana ia berpendangan bahwa Saalim adalah anaknya – dengan anak saudaranya yang bernama Faathimah binti Al-Waliid bin ‘Utbah bin Rabii’ah dimana ia waktu itu termasuk wanita-wanita pertama yang berhijrah. Ia (Faathimah) termasuk wanita Quraisy yang paling utama (afdlal). Maka ketika Allah ta’ala menurunkan ayat dalam Al-Qur’an yang berkenaan dengan Zaid bin Haritsah : ‘Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu’ (QS. Al-Ahzaab : 5). Dikembalikan setiap dari mereka kepada bapaknya, dan jika tidak diketahui bapaknya maka dikembalikan kepada maulanya. Maka datanglah Sahlah binti Suhail, istri Abu Hudzaifah dari Bani ‘Aamir bin Luai, kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, kami dulu memandang Saalim sebagai anak dan ia biasa menemuiku dalam keadaan terbuka kepala dan dadaku (tidak berkerudung/berhijab), dan kami tidak memiliki kecuali satu rumah. Bagaimana pendapatmu mengenai urusannya ?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : ‘Susuilah ia dengan lima kali susuan, maka ia menjadi mahram bagimu akibat susu itu’. Maka jadilah Sahlah memandang Saalim sebagai anak susuannya. ‘Aisyah Ummul-Mukminiin mengambil sabda beliau yang berkenaan dengan peristiwa Saalim tersebut sebagai dalil untuk membolehkan siapa saja yang ingin menemui dirinya. Maka ‘Aisyah menyuruh saudara perempuannya yang bernama Ummu Kultsum binti Abi Bakr Ash-Shiddiiq dan anak-anak perempuan saudara laki-lakinya untuk menyusui laki-laki yang ingin masuk menemuinya (‘Aisyah). Maka seluruh istri-istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menolak siapa saja yang ingin masuk masuk menemui mereka akibat persusuan itu. Mereka (para istri Nabi) berkata : ‘Tidak demi Allah ! Kami tidak berpendapat tentang perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Sahlah binti Suhail melainkan hanyalah keringanan (rukhshah) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam penyusuan Saalim saja. Tidak demi Allah, tidak boleh masuk menemui kami seorang pun dengan penyusuan seperti itu” [HR. Maalik no. 1402; shahih].
Para ulama berselisih dalam pengambilan hukum atas hadits Sahlah (penyusuan kepada orang dewasa) dalam banyak pendapat. Ada yang bependapat bahwa hukum ini hanya dikhususkan kepada Saalim saja, tidak kepada yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa hadits ini telah mansukh (terhapus). Dan yang lain berkata bahwa hukum ini berlaku secara umum untuk semua orang yang keadaannya seperti Saalim dan Sahlah. Pendapat terakhir inilah yang rajih.
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Ali Bassam hafidhahullah berkata :
وذهب إلى القول الرابع (وهو أن تأييد رضاع الكبير رخصة عامة لكل من هو في مثل حال (سهلة) شيخ الإسلام (ابن تيميه) وجعله توسطا بين الأدلة وجمعا بينها، حيث إن النسخ لا يمكن بين هذه النصوص، لعدم العلم بالتاريخ.
والخصوصية لـ (سالم ) وحده لم تثبت، فتكون خصوصية في مثل من هو في حال (سالم) وزوج أبي حذيفة، حيث يشق الاحتجاب عنه، ولا يستغني عن دخوله والخلوة به.
ورجح هذا المسلك ( ابن القيم ) في (الهدى) فقال: وهذا أولى من النسخ ودعوى الخصوصية لشخص بعينه، وأقرب إلى العمل بجميع الأحاديث من الجانبين، وقواعد الشرع تشهد له. والله الموفق
“Kemudian ada pendapat keempat bahwa penyusuan terhadap orang yang telah dewasa/besar merupakan rukhshah yang bersifat umum bagi siapapun yang keadaannya seperti Sahlah. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menjadikan cara ini sebagai jalan tengah dari berbagai dalil dan merupakan cara pengkompromian di antara beberapa nash, karena memang tidak diketahui waktunya, mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir.[2] Sebab, pengkhususan hanya bagi Saalim dan Sahlah tidak dapat ditetapkan, sehingga dalam hal ini menjadi pengkhususan bagi siapa saja yang keadaannya seperti Saalim dan istri dan istri Abu Hudzaifah, karena keduanya sulit untuk berhijab dan mesti sering bertemu.
Jalan pengkompromian ini juga dirajihkan oleh Ibnul-Qayyim dalam Al-Hadyu. Beliau berkata : ‘Cara ini lebih baik daripada cara penghapusan dan pengkhususan bagi orang tertentu, lebih dekat kepada pengamalan semua hadits dari dua sisi. Kaidah syar’iyyah juga mendukungnya. Wallaahul-Muwaffiq” [Taisirul-‘Allam Syarh ‘Umdatil-Ahkam, 2/444].
Adapun selain kondisi seperti Saalim, maka penyusuan terhadap orang dewasa tidak menyebabkan kemahraman, bahkan haram hukumnya jika dilakukan. Wallaahu a’lam.
Semoga risalah singkat ini ada manfaatnya.
Abul-Jauzaa’ – Ciomas Permai, Jumadal-Ula 1430.
[1] Berkata An-Nawawi rahimahullah :
قَالَ الْقَاضِي : لَعَلَّهَا حَلَبَتْهُ ثُمَّ شَرِبَهُ مِنْ غَيْر أَنْ يَمَسّ ثَدْيهَا وَلَا اِلْتَقَتْ بَشَرَتَاهُمَا ، وَبِهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْقَاضِي حَسُنَ ، وَيَحْتَمِل أَنَّهُ عُفِيَ عَنْ مَسّه لِلْحَاجَةِ كَمَا خُصَّ بِالرَّضَاعَةِ مَعَ الْكِبَر وَاَللَّه أَعْلَم .
“Berkata Al-Qadliy : ‘Bisa jadi ia (Sahlah) mengumpulkan air susu (dari payudaranya), kemudian Saalim meminumnya tanpa menyentuh kedua payudaranya dan tidak pula bertemu kulit antara keduanya’. Apa yang dikatakan Al-Qadliy ini bagus. Dan bisa juga hal itu dibawa pada kemungkinan bahwa Saalim pada saat itu dimaafkan karena adanya persentuhan karena adanya kebutuhan (yang mengharuskannya) sebagaimana dikhususkannya penyusuan kepada orang dewasa. Wallaahu a’lam” [Syarh Shahih Muslim, 10/26].
[2] Terutama bagi mereka yang berpendapat hadits Sahlah itu mansukh – Abu Al-Jauzaa’.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/batas-usia-penyusuan-bayi-yang-dapat.html