IRT UNGGULAN
Ini kali ke banyak saya membaca sebuah status di salah satu forum dimana saya sering duduk-duduk saling tukar informasi dengan beberapa ibu. Status menanyakan bagaimana manajemen waktu seorang ibu rumah tangga penuh dengan banyak anak, tanpa "asisten domestik".
Setiap kali menemukan status atau komentar senada ingatan saya serta merta tertuju ke sosok seorang ibu muda berprestasi fenomenal (menurut saya, apalagi di jaman ini) dengan segudang kesibukan.
Oh...bukan...bukan kesibukan di luar rumah. Kesibukannya penuh untuk keluarga plus sekitar 25% untuk orang lain. Ibu muda ini benar-benar telah merubah makna "prestasi" dalam perbendaharaan kata saya. Dulu, bagi saya prestasi adalah : meraih gelar sarjana, kalau perlu sampai strata 3, lalu bekerja di luar rumah. Punya gaji sendiri, rumah dan mobil hasil keringat sendiri. Rumah dan anak-anak? Kan bisa menggaji pembantu dan mengirim mereka ke sekolah unggulan. Beres...
Sejak saya mengenal Ummu Ibrahim, persepsi itu seolah runtuh tunggang langgang.
Ummu Ibrahim lahir di Gaza...ya Gaza yang terkenal itu. Gaza yang berdarah-darah. Gaza yang menangis berkepanjangan. Ia dibawa orang tua beserta sembilan saudaranya keluar Gaza untuk mencari kehidupan yang lebih tentram. Jauh dari hiruk pikuk desing peluru, hujan rudal dan bau daging (manusia) bakar.
Tidaklah sia-sia orang tua ibu muda ini susah payah menyeret keluarga keluar dari Gaza. Ia tumbuh di tanah kelahiran Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Lepas SMU, meskipun tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, ia tidak kehabisan akal menuntut ilmu.
Di usia kurang dari 20 tahun ia sudah dinyatakan layak menyandang label hafidzah. Allah pun mempertemukannya dengan seorang pemuda yang tak kalah rakus menggali ilmu. Bersama mereka membangun rumah tangga yang sekuat daya dibentuk sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wa salam mengajarkan.
Tujuan : membentuk jundi-jundi yang tangguh.
Dengan 5 anak yang masih sangat kecil2, pasangan ini membentuk keluarga yang unik. Sangat tradisional dalam banyak hal, tetapi juga sangat modern dalam banyak hal lain. Tidak ada televisi di rumah mereka, tetapi semua perangkat teknologi informasi lengkap tersedia, dengan perangkat pengaman dari situs-situs sampah tentunya. Anak-anak menghafal Al-Qur'an 2 jam di pagi hari dan 2 jam di malam hari. Tidak ada PAUD untuk anak-anak. Semua kebutuhan pendidikan usia dini dipenuhi sendiri. Anak-anak baru disekolahkan di usia 7 tahun. Sudah dalam keadaan "siap pakai" (baca : bisa menjadi role model untuk teman-teman sekelas mereka).
Apakah anak-anak mereka kuper tanpa PAUD?
Ah...jangan tanya...mereka anak-anak yang sangat supel. Sama riangnya dengan anak-anak yang setiap akhir pekan pergi ke pusat pertokoan meskipun mereka tak pernah menginjakkan kaki di satu pusat pertokoan pun. Sama kritisnya dengan anak-anak yang setiap hari menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar televisi meskipun mereka tak mengenal televisis. Mereka anak-anak yang punya tingkat kepatuhan amat tinggi.
Tidak ada waktu terbuang sia-sia. Kalau bukan mengaji, ya membantu ibu menyiapkan dan membereskan meja makan, menjaga adik yg lebih kecil, membantu kakek mengangkat belanjaan dari mobil ke rumah, belajar bersama nenek (termasuk belajar memasak cemilan-cemilan ringan dari nenek...lho...kan anak laki-laki...? so what gitu lowh? kebanyakan chef handal justru laki-laki), melibat cucian yang sudah kering, membereskan mainan dan buku-buku, ikut ayah dan/atau kakek shalat di saf terdepan di masjid, ikut ayah dan atau kakek shalat Jum'at tanpa pernah absen...pokoknya sibuk...
Ibu mereka lebih sibuk lagi. Mengulang hafalan Al-Qur'an dan hadith 5 jam dalam sehari ~ minimal. Menyiapkan materi kajian untuk 1 kali kajian dengan ibu-ibu tetangga, 1 kali kajian dengan keluarga, 1 kali kajian online untuk siapa saja di kejauhan yang membutuhkan dan menyimak kajian online dari seorang da'iyah. Belum termasuk memasak, mengurus anak-anak, bersih-bersih, mencuci...padat...padat...padat...
Semua dikerjakan tanpa khadimat....Kadang saya bertanya-tanya, dari mana energi untuk semua kesibukan itu berasal?
"Kullu ni'mat min Allah..."
Dan semua nikmat itu, ia syukuri dengan menorehkan prestasi demi prestasi untuk agamanya dan keluarga.
(ah...saya jadi malu...jauuuh rasanya dari Ummu Ibrahim...)
Sumber: Kisah Nyata Seorang Teman yang Tidak Ingin Disebutkan Namanya. Semoga Alloh memberkahinya dan keluarganya. Aamiiiin
Ini kali ke banyak saya membaca sebuah status di salah satu forum dimana saya sering duduk-duduk saling tukar informasi dengan beberapa ibu. Status menanyakan bagaimana manajemen waktu seorang ibu rumah tangga penuh dengan banyak anak, tanpa "asisten domestik".
Setiap kali menemukan status atau komentar senada ingatan saya serta merta tertuju ke sosok seorang ibu muda berprestasi fenomenal (menurut saya, apalagi di jaman ini) dengan segudang kesibukan.
Oh...bukan...bukan kesibukan di luar rumah. Kesibukannya penuh untuk keluarga plus sekitar 25% untuk orang lain. Ibu muda ini benar-benar telah merubah makna "prestasi" dalam perbendaharaan kata saya. Dulu, bagi saya prestasi adalah : meraih gelar sarjana, kalau perlu sampai strata 3, lalu bekerja di luar rumah. Punya gaji sendiri, rumah dan mobil hasil keringat sendiri. Rumah dan anak-anak? Kan bisa menggaji pembantu dan mengirim mereka ke sekolah unggulan. Beres...
Sejak saya mengenal Ummu Ibrahim, persepsi itu seolah runtuh tunggang langgang.
Ummu Ibrahim lahir di Gaza...ya Gaza yang terkenal itu. Gaza yang berdarah-darah. Gaza yang menangis berkepanjangan. Ia dibawa orang tua beserta sembilan saudaranya keluar Gaza untuk mencari kehidupan yang lebih tentram. Jauh dari hiruk pikuk desing peluru, hujan rudal dan bau daging (manusia) bakar.
Tidaklah sia-sia orang tua ibu muda ini susah payah menyeret keluarga keluar dari Gaza. Ia tumbuh di tanah kelahiran Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Lepas SMU, meskipun tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, ia tidak kehabisan akal menuntut ilmu.
Di usia kurang dari 20 tahun ia sudah dinyatakan layak menyandang label hafidzah. Allah pun mempertemukannya dengan seorang pemuda yang tak kalah rakus menggali ilmu. Bersama mereka membangun rumah tangga yang sekuat daya dibentuk sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wa salam mengajarkan.
Tujuan : membentuk jundi-jundi yang tangguh.
Dengan 5 anak yang masih sangat kecil2, pasangan ini membentuk keluarga yang unik. Sangat tradisional dalam banyak hal, tetapi juga sangat modern dalam banyak hal lain. Tidak ada televisi di rumah mereka, tetapi semua perangkat teknologi informasi lengkap tersedia, dengan perangkat pengaman dari situs-situs sampah tentunya. Anak-anak menghafal Al-Qur'an 2 jam di pagi hari dan 2 jam di malam hari. Tidak ada PAUD untuk anak-anak. Semua kebutuhan pendidikan usia dini dipenuhi sendiri. Anak-anak baru disekolahkan di usia 7 tahun. Sudah dalam keadaan "siap pakai" (baca : bisa menjadi role model untuk teman-teman sekelas mereka).
Apakah anak-anak mereka kuper tanpa PAUD?
Ah...jangan tanya...mereka anak-anak yang sangat supel. Sama riangnya dengan anak-anak yang setiap akhir pekan pergi ke pusat pertokoan meskipun mereka tak pernah menginjakkan kaki di satu pusat pertokoan pun. Sama kritisnya dengan anak-anak yang setiap hari menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar televisi meskipun mereka tak mengenal televisis. Mereka anak-anak yang punya tingkat kepatuhan amat tinggi.
Tidak ada waktu terbuang sia-sia. Kalau bukan mengaji, ya membantu ibu menyiapkan dan membereskan meja makan, menjaga adik yg lebih kecil, membantu kakek mengangkat belanjaan dari mobil ke rumah, belajar bersama nenek (termasuk belajar memasak cemilan-cemilan ringan dari nenek...lho...kan anak laki-laki...? so what gitu lowh? kebanyakan chef handal justru laki-laki), melibat cucian yang sudah kering, membereskan mainan dan buku-buku, ikut ayah dan/atau kakek shalat di saf terdepan di masjid, ikut ayah dan atau kakek shalat Jum'at tanpa pernah absen...pokoknya sibuk...
Ibu mereka lebih sibuk lagi. Mengulang hafalan Al-Qur'an dan hadith 5 jam dalam sehari ~ minimal. Menyiapkan materi kajian untuk 1 kali kajian dengan ibu-ibu tetangga, 1 kali kajian dengan keluarga, 1 kali kajian online untuk siapa saja di kejauhan yang membutuhkan dan menyimak kajian online dari seorang da'iyah. Belum termasuk memasak, mengurus anak-anak, bersih-bersih, mencuci...padat...padat...padat...
Semua dikerjakan tanpa khadimat....Kadang saya bertanya-tanya, dari mana energi untuk semua kesibukan itu berasal?
"Kullu ni'mat min Allah..."
Dan semua nikmat itu, ia syukuri dengan menorehkan prestasi demi prestasi untuk agamanya dan keluarga.
(ah...saya jadi malu...jauuuh rasanya dari Ummu Ibrahim...)
Sumber: Kisah Nyata Seorang Teman yang Tidak Ingin Disebutkan Namanya. Semoga Alloh memberkahinya dan keluarganya. Aamiiiin