Langsung ke konten utama

Ar-Ruthubah


Ar-Ruthubah (Kelembapan Pada Kemaluan Wanita)

Banyak pertanyaan yang ditujukan ke meja redaksi melalui telpon ataupun surat, yang menanyakan tentang hukum kelembapan pada kemaluan wanita, apakah kelembapan itu sampai membasahi celana dalamnya itu dianggap najis atau suci menurut Syari'ah Islamiyah ?. Maka dari itulah, dalam pembahasan kali ini kami memilih topik yang berkenaan dengan masalah tersebut agar menjadi jelas masalahnya bagi segenap pembaca yang budiman.

Ar Ruthuubah itu secara bahasa maknanya ialah kelembapan, dan yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah kondisi berair pada lubang vagina dan permukaan (yakni bagian luar) vagina tersebut. Kondisi berair itu kadang-kadang karena sedang memuncaknya gairah seksual pada wanita itu, atau karena penyakit keputihan yang banyak menjangkiti vagina (kemaluan) wanita. Cairan kelembapan tersebut kadang-kadang hanya berada di dalam vagina karena sangat sedikitnya. Tetapi kadang pula mengalir keluar sampai membasahi celana dalamnya. Al Imam An Nawawi dalam Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab jilid 2 halaman 526 menerangkan : “Kelembapan pada kemaluan wanita itu dalam bentuk cairan berwarna putih yang bentuk cairannya seperti madzi atau sebagai keringat yang ada pada lubang vagina itu. Oleh karena itu telah terjadi perbedaan pendapat diantara para Ulama' dalam masalah ini”.

Dalam perkara ini yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama' adalah, apakah cairan kelembapan tersebut najis ataukah tidak ? dan apakah keluarnya cairan tersebut menyebabkan batalnya wudlu' ataukah tidak ? Berikut, kami bawakan perdebatan para Ulama' berkenaan silang pendapat di kalangan mereka serta keterangan tarjih (yakni penetapan mana yang lebih kuat dari berbagai pendapat itu). Agar kiranya dapat menjadi kejelasan ilmu bagi segenap pembaca yang budiman.

Beberapa Pendapat Para Ulama' :

Pembahasan masalah ini masih berkaitan dengan silang pendapat berkenaan dengan najis atau tidaknya mani. Sehingga terdapat dua golongan pendapat yang masing-masingnya membangun pendapatnya di atas dalil-dalil yang diyakini masing-masingnya. Dua golongan pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Para Ulama' yang berpandangan najisnya cairan kelembapan itu, karena meyakini najisnya mani. Karena itu mereka mengatakan bahwa mani wanita itu tercampur pada cairan tersebut sehingga dikatagorikanlah cairan itu adalah benda najis. Diantara para yang termasuk berpendapat demikian ini adalah : Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, Malik bin Anas dan lain-lainnya.

2. Para Ulama' yang berpandangan tidak najisnya mani, berpandangan bahwa cairan kelembapan itu tidak najis juga. Karena buktinya mani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang mestinya tercampur dengan cairan tersebut ketika bersetubuh dengan istrinya tidak dianggap najis oleh para istri beliau sehingga baju beliau yang terkena mani itu tidak dicuci oleh istri-istri beliau. Yang termasuk dalam kalangan Ulama' yang berpendapat demikian adalah : Muhammad bin Idris As Syafi'ie, Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya.

Karena perkara ini adalah merupakan perkara khilafiyah, maka tentunya harus ada upaya tarjih diantara berbagai pendapat itu dengan mempertimbangkan kekuatan dalil masing-masing pendapat itu. Karena kita hanya mengikuti dalil dalam berIslam dan yang dinamakan dalil itu adalah Al Qur'an dan Al Hadits.

Dalam hal ini ada beberapa hadits yang menjadi dalil Syar'ie bagi kedua golongan Ulama' yang berbeda pendapatnya. Beberapa hadits tersebut adalah sebagai berikut :

1. Riwayat Utsman bin Affan radhiyallahu anhu yang menerangkan bahwa seorang suami yang menyetubuhi istrinya tetapi tidak keluar mani, maka wajib bagi suami tersebut mencuci kemaluannya dan kemudian berwudlu'. Utsman menyatakan : “Aku mendengar yang demikian itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam”. Riwayat tersebut dibawakan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke : 292 dan Muslim juga dalam Shahihnya hadits ke 347/86. Dari riwayat ini dipahami oleh sebagian Ulama', bahwa perintah mencuci kemaluan pria itu menunjukkan najisnya cairan kelembapan pada vagina walaupun dia dalam bersetubuh itu tidak sampai keluar mani.

2. Riwayat Ubay bin Ka'ab radhiyallahu anhu menyatakan bahwa beliau pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam : Wahai Rasulallah, bagaimanakah bila seorang pria bersetubuh dengan seorang wanita tetapi tidak sampai keluar mani ? Maka Rasulullah menjawab : Dia mencuci darinya apa yang menyentuh wanita itu kemudian berwudlu' dan shalat”. HR. Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 293, Muslim dalam Shahihnya hadits ke 346/84.

Dari hadits ini dipahami oleh sebagian Ulama' bahwa perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam kepada Ubay untuk mencuci kemaluannya yang telah masuk pada vagina istrinya itu menunjukkan najisnya air kelembapan yang ada padanya.

3. Riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda : “Apabila seorang pria telah menempati empat sisi tubuh wanita (yakni dalam posisi bersenggama dengannya -pent) kemudian memasukkan kemaluannya kepada kemaluan wanita itu, maka sungguh telah wajib mandi (yakni mandi junub -pent) atasnya”. HR. Muslim dalam Shahihnya hadits ke 348/87. Dalam riwayat ini Imam Muslim menyatakan: “Dalam hadits riwayat Mathrin disebutkan adanya pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam : ……Walaupun tidak keluar mani”. Maksudnya ialah, wajib mandi junub atas keduanya walaupun tidak sampai keluar mani dalam persenggamaannya.

Juga dibawakan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya hadits ke 350/89 dari riwayat A'isyah Ummul Mu'minin radhiyallahu anha, beliau memberitakan : “Seorang pria bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam tentang seorang suami yang bersenggama dengan istrinya, kemudian dia menghentikannya dalam keadaan belum keluar mani. Apakah diwajibkan atas suami istri itu untuk mandi junub ? A'isyah waktu itu duduk disamping beliau, maka beliaupun menjawab pertanyaan pria tersebut dengan mengatakan : Sesungguhnya aku telah melakukannya (yakni bersenggama) dengan istriku ini dalam keadaan tidak keluar mani, kemudian kami mandi junub setelah itu”.

Riwayat-riwayat ini menunjukkan hukum wajibnya mandi junub atas pria dan wanita bila telah bersenggama dengan masuknya kepala kemaluan pria itu pada lubang kemaluan wanita, walaupun tidak keluar mani. Hukum tersebut tentunya berbeda dengan hukum yang diterangkan dalam riwayat-riwayat pertama dan kedua, yang tidak mewajibkan mandi junub bagi mereka yang bersenggama tetapi belum sampai keluar maninya.

4. Imam Muslim An Nisaburi rahimahullah membawakan riwayat, dari pernyataan Abul Ala ' bin As Syikhkhir, yang menjelaskan : “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam menghapus hukum sebagian hadits beliau dengan hadits yang lainnya sebagaimana Al Qur'an yang menghapuskan sebagian hukum ayatnya dengan ayat yang lainnya”. Shahih Muslim hadits ke 344/82.

Al Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan, mengapa Imam Muslim membawakan riwayat ini di tengah berbagai riwayat yang bertentangan satu dengan yang lainnya itu. Beliau menjelaskan : “Dan yang dimaukan oleh Imam Muslim dengan membawakan riwayat ini di sini, adalah untuk menegaskan keyakinannya bahwa hadits yang mengharuskan mandi wajib hanya bagi yang keluar mani dalam persenggamaannya itu adalah hadis yang telah terhapus hukumnya”. Syarh Shahih Muslim oleh Al Imam An Nawawi jilid 1 halaman 31.

5. Al Imam At Tirmidzi rahimahullah telah meriwayatkan dalam Sunannya jilid 1 halaman 183 – 184 riwayat ke 110 & 111 dari Az Zuhri dari Sahel bin Sa'ad yang mendengar Ubay bin Ka'ab mengatakan : “Hanyalah ketentuan harus mandi junub bila keluar mani dalam persetubuhan, adalah sebagai ketentuan yang merupakan keringanan di awal masa diajarkannya pertama kali agama Islam. Kemudian setelah itu keringanan ini dihapus”. Yakni semula kewajiban mandi junub hanya dikenakan atas pria dan wanita yang keluar mani dalam persetubuhannya, dan bila tidak keluar mani dalam persetubuhan itu, maka tidak wajib mandi junub. Melainkan hanya berwudlu dan mencuci batang kemaluannya yang telah masuk ke dalam lubang kemaluan wanita itu. Tetapi setelah itu, diwajibkan mandi junub atas pria dan wanita yang melakukan persetubuhan walaupun tidak keluar mani dalam persetubuhan itu. Demikian diterangkan oleh Al Imam At Tirmidzi setelah membawakan riwayat pernyataan Ubay bin Ka'ab tersebut, dan beliau mengatakan pula bahwa keterangan Ubay tersebut tentang penghapusan hukum keringanan itu tidak hanya diberitakan oleh Ubay, akan tetapi juga dibawakan pula oleh Shahabat Nabi yang lainnya. Yaitu Rafi' bin Khudaij dan lain-lainnya. Al Imam Ahmad Syakir rahimahullah menerangkan dalam memberikan catatan kaki terhadap riwayat At tirmidzi tersebut : “Adapun riwayat yang menyatakan telah dihapusnya hukum keringanan tersebut, adalah riwayat yang telah pasti keshahihannya dengan beberapa hadits shahih yang telah disebutkan”.

Dengan demikian, hadits-hadits yang pertama dan ke dua adalah hadits-hadits yang telah mansukh (yakni terhapus hukumnya) dengan keterangan hadits ke tiga.

6. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari A'isyah radhiyallahu anha, bahwa beliau mengerik mani kering yang menempel pada baju Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dengan kuku beliau kemudian Rasulullah menunaikan shalat dengan baju tersebut. Demikian diriwayatkan dalam Shahih Muslim juz 3 hal. 530 hadits ke 290/109.

Dalam menerangkan hadits ini Al Imam An Nawawi rahimahullah menegaskan : “Sekelompok Ulama' telah berdalil dengan hadits ini, bahwa cairan kelembapan pada lubang vagina wanita itu adalah suci. Dan dalam perkara ini telah terjadi perbedaan pendapat yang telah dikenal di kalangan para Ulama', tetapi yang nyata adalah sucinya cairan kelembapan itu. Karena Nabi sallallahu alaihi waalihi wasallam tidak mungkin bermimpi yang mengakibatkan keluar mani, sebab mimpi yang demikian itu adalah permainan syaithan terhadap orang yang tidur. Oleh karena itu tidak mungkin mani kering yang menempel pada baju beliau itu kecuali adalah mani yang terpancar karena persetubuhan beliau dengan istrinya. Sehingga bisa dipastikan di sini, bahwa mani yang mengena baju beliau itu adalah mani yang telah melalui lubang vagina istri beliau yang tentunya tercampur dengan cairan kelembapannya kemudian keluar dari vagina itu dan mengenai baju beliau. Maka kalau seandainya cairan kelembapan pada vagina itu adalah najis, tentu mani yang mengena baju beliau itu adalah najis. Tetapi kenyataannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam membiarkan mani tersebut menempel pada bajunya dan tidak mencucinya, bahkan beliau mencukupkannya dengan mengeriknya, maka ini menunjukkan sucinya mani dan cairan kelembapan itu”. Syarah Shahih Muslim jilid 3 halaman 531.

Al Imam Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi rahimahullah menyatakan dalam Al Hawi Al Kabir jilid 1 halaman 259 : “Dan sungguh telah diriwayatkan keterangan dari Al Imam Asy Syafi'ie di sebagian kitab-kitab beliau, bahwa beliau berpandangan tentang sucinya cairan kelembapan vagina wanita itu dan tidak wajib untuk dicuci seperti hukumnya mani (yang terkena baju)”.

Dengan demikian, setelah kita mendapat kepastian, dalil-dalil bagi Ulama' yang berpandangan tentang najisnya mani dan cairan kelembapan vagina wanita itu adalah dalil-dalil yang telah mansukh (yakni terhapus hukumnya). Sedangkan dalil-dalil bagi Ulama' yang berpandangan sucinya mani dan cairan kelembapan tersebut, tidak ada satu keteranganpun yang menggugurkannya, maka dengan penuh keyakinan, kita cenderung kepada pendapat Ulama' yang menyatakan sucinya mani dan cairan kelembapan tersebut.

Dengan demikian pula, para wanita tidak wajib mencuci celana dalamnya yang terkena cairan itu dan boleh menggunakannya untuk shalat.

P e n u t u p :

Sebagaimana yang telah kita terangkan sebelumnya, bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci, kecuali bila ada keterangan dari Al Qur'an dan Al Hadits yang menegaskan najisnya, barulah sesuatu itu dianggap najis. Demikian juga tentunya tentang permasalahan Ar Ruthubah ini, dalil-dalil yang dijadikan landasan oleh para Ulama' yang berpandangan dengan kenajisannya, adalah hadits-hadits yang telah mansukh walaupun dari segi sanad ia adalah hadits-hadits yang sangat meyakinkan keshahihannya. Oleh karena itu, seandainya tidak ada keterangan dari perbuatan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, maka Ar Ruthubah itu adalah suci. terlebih lagi adanya keterangan dari A'isyah Ummul Mu'minin yang mengisyaratkan bahwa Ar Ruthubah itu adalah perkara suci dan bukan najis. Wallahu a'lamu bis shawab.

**Artikel: dari Ukhty Hanunah Ghaida Zanirah**

Postingan populer dari blog ini

KEKELIRUAN DALAM MENGUCAPKAN KATA "WA IYYAKUM"

KEKELIRUAN DALAM MENGUCAPKAN KATA "WA IYYAKUM" Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Pijat Payudara Selama Menyusui

Masase Payudara untuk Pemeliharaan Payudara Bagi sebagian ibu, aktivitas menyusui kerap dihubungkan dengan keindahan payudara. Alasan inilah yg membuat mereka enggan berlama-lama menyus ui. Pakar ASI Dr. Utami Roesli Sp.A. dalam sebuah se minar ASI mengungkapkan bahwa sesungguhnya bukan menyusui yg mengubah bentuk payudara, tapi proses kehamilanlah yg menyebabkan perubahan itu. Dan bila ada keinginan unt u k mengembalikan bentuknya seperti saat masih gadis, lebih baik lupakanlah. Sebab memang tak mungkin. Namun, itu bukan berarti tak ada cara membuat payudara tetap terlihat indah dan kencang. Apalagis etelah persalinan dan di saat anda menyusui. Selain terlihat indah, perawatan payudara yg dilakukan dengan benar dan teratur akan memudahkan si kecil mengkonsumsi ASI. Pemeliharaan ini juga bisa merangsang produksi ASI dan m engurangi resiko luka saat menyusui. Berikut ini kiat masase payudara yg dapat anda prakt ekkan sejak hari ke-2 usai persalinan, sebanyak 2 kali sehari.

Apakah Saudara Sepersusuan Menjadi Mahram?

Apakah Saudara Sepersusuan Menjadi Mahram? Pertanyaan: Saya mau bertanya. Misalnya Ummu Aisyah menyusui Rifqi (anak orang lain) sebanyak lima kali atau lebih sampai kenyang, apakah Aisyah haram dinikahi Rifqi karena sebab sepersusuan? Bagaimana hukum saudara laki-laki Rifqi yang tidak menyusu pada Ummu Aisyah, apakah juga haram menikahi Aisyah?