Langsung ke konten utama

MENGURUS JENAZAH MUSLIM


Kematian adalah sesuatu yang pasti dialami oleh setiap orang. Hanya saja waktu pastinya yang tidak diketahui sebelumnya. Bagaimana kalau ada orang yang tiba-tiba saja meninggal dunia? Bisa tetangga, kerabat, atau keluarga sendiri.

Setelah tercabut nyawa seseorang dari badannya maka ada beberapa hal yang hendaknya dilakukan oleh orang yang masih hidup. Orang yang mati sudah semestinya dirawat sebagaimana layaknya orang yang meninggal. Diantaranya adalah:

MEMANDIKAN JENAZAH

Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah Radhiyallaahu ‘anha dia menceritakan pada suatu saat para Shahabiyah hendak memandikan jenazah Zainab putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, maka beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,

“Mandikanlah dengan air dan daun bidara tiga kali ulangan, atau lima kali atau lebih dari itu jika menurut kalian itu benar-benar diperlukan. Dan berikanlah kapur barus pada bilasan terakhir…”[1]

Imam Nawawi Rahimahullaahu Ta’aala mengatakan, “Hukum asal memandikan mayit adalah fardhu kifayah. Begitu pula hukum mengusungnya, mengkafaninya, menshalatinya, dan menguburkannya. Semua itu adalah fardhu kifayah. Sedangkan siraman air yang wajib dilakukan ketika mandikan adalah sekali siraman yang mengenai sebagian besar anggota badan…”[2]

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan memandikan jenazah, yaitu:

1. Hendaknya yang memandikan adalah orang yang jauh lebih mengerti tentang tata cara memandikan yang sesuai syari’at, apalagi jika dia termasuk keluarganya.

2. Memandikannya tiga kali atau lebih tergantung pertimbangan maslahat dalam pandangan orang yang mengurusinya.

3. Hendaknya dimandikan dengan hitungan ganjil.

4. Salah satu siraman dicampuri dengan daun bidara, atau benda lain yang bisa menggantikannya seperti sabun.

5. Mencampuri larutan air dengan minyak wangi pada cucian terakhir, lebih utama dengan kapur barus.

6. Memotong kuku dan mencucinya sebersih mungkin.

7. Mengurai rambutnya.

8. Khusus perempuan maka rambutnya dikepang tiga dan diletakkan di belakang.

9. Memandikan dari bagian badan sebelah kanan dulu dan diawali dengan bagian badan yang dibasuh ketika wudhu.

10. Hendaknya yang mengurusi pemandian jenazah laki-laki juga kaum laki-laki dan perempuan demikian pula diurusi oleh kaum perempuanm kecuali pasangan suami istri.

11. Menggunakan kain untuk menutupi tubuhnya ketika dimandikan agar tidak tampak dan tersentuh auratnya.

12. Orang yang meninggal dalam keadaan ihram tidak diberi minyak wangi.[3]

MENGAFANI MAYIT

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,

“Apabila salah seorang dari kalian mengafani mayit saudaranya (sesama muslim) maka hendaknya dia perbagus kain kafan untuknya.”[4]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda yang artinya,

“Kenakanlah pakaian kalian yang putih. Sesungguhnya itu adalah termasuk pakaian terbaik kalian. Dan kafanilah orang yang mati diantara kalian dengannya.”[5]

Sebaiknya mengafani mayit dengan tiga lapis kain. Sebagaimana para sahabat mengafani jenazah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dengan tiga lapis kain. ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha mengisahkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dikafani dengan tiga lapis kain berwarna putih bersih buatan Yaman tanpa mengenakan gamis maupun imamah (penutup kepala).[7]

Syaikh Abdullah al-Bassam mengatakan, “Mengafani jenazah lelaki disunahkan terdiri dari tiga lapis kain, sedangkan untuk jenazah perempuan lima lapis kain yang terdiri dari izar (kain bawahan seperti rok, pen), khimar (kerudung), gamis, dan dua lapis kain penutup. Dan yang wajib ialah menutupi seluruh tubuh mayit.”[7]

SHALAT JENAZAH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,

“Barangsiapa yang menghadiri prosesi jenazah hingga mayit dishalati maka dia mendapatkan pahala satu qirath. Barangsiapa yang menghadirinya sampai dikuburkan maka dia mendapatkan pahala dua qirath.” Lalu beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ditanya apa yang dimaksud dua qirath? Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Yaitu seperti dua buah bukit yang sangat besar.”[8]

‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha mengatakan: “…Tidaklah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menshalati jenazah Suhail bin Baidha’ kecuali beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam lakukan di dalam ruangan masjid.”[9] Meskipun boleh, akan tetapi lebih utama adalah dilakukan di luar masjid pada sebuah tempat khusus yang memang digunakan untuk shalat jenazah sebagaimana yang menjadi kebiasaan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam seperti tatkala menshalati Najasyi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam keluar rumah dan mengajal kaum muslimin untuk shalat jenazah di tanah lapang.[10]

MAKMUM MEMBUAT 3 SHAF

Diriwayatkan dari Malik bin Hubairah Radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,

“Tidaklah ada seorang mayit yang dishalati oleh tiga shaf manusia di antara kaum muslimin kecuali pasti diterima (do’a mereka).”[11]

Hendaknya hal ini tetap dilakukan selama memungkinkan meskipun jumlah yang ikut serta hanya sedikit.

POSISI IMAM

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub dia berkata, “Aku pernah shalat di belakang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ketika menshalati Ummu Ka’ab Radhiyallaahu ‘anha. Dia meninggal dalam keadaan nifas. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berdiri untuk menshalatinya di posisi bagian tengah dari badannya.”[12]

Syaikh Abdullah al-Bassam berkata, “Tempat berdiri imam dalam menshalati jenazah perempuan adalah setentang bagian tengah badannya, entah dia meninggal karena pendarahan (nifas) ataupun bukan. Karena hakikat hukum dari hadits ini terletak pada penyebutan jenazah itu sebagai seorang perempuan, bukan terkait dengan keadaannya yang sedang nifas sebab pernyataan itu bukanlah batasan yang diperhitungkan berdasarkan kesepakatan para ahli ilmu.”[13]

Pengaturan posisi jenazah secara rinci adalah sebagai berikut:

- Kepala jenazah berada di sebelah kanan imam shalat jenazah dengan menghadap ke kiblat.

- Jika jenazah tersebut laki-laki, imam berdiri setentang dengan kepala jenazah itu.[14]

- Jika jenazah tersebut wanita, imam berdiri setentang dengan bagian tengah tubuhnya.

- Jika lebih dari satu jenazah dan berlainan jenis kelamin, seperti terdapat jenazah laki-laki, wanita, anak laki-laki, dan anak perempuan, maka posisinya sebagai berikut:

Barisan pertama dari imam adalah jenazah laki-laki, kemudian jenazah anak laki-laki setentang dengannya, kemudian bagian tengahnya jenazah wanita setentang dengan kepala jenazah laki-laki, dan barisan terakhir adalah jenazah anak perempuan setentang dengannya (lihat bagan) (Bimbingan Praktis Penyelenggaraan Jenazah, hal 140, Pustaka At-Tibyan, lihat juga Al-Wajiz, hal 168-169)

Bagan berbagai posisi jenazah di hadapan imam

JUMLAH TAKBIR

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengumumkan kepada orang-orang tentang kematian Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam keluar bersama para sahabat menuju tanah lapang. Dan beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam shalat dengan empat kali takbir.”[15]

Inilah pendapat mayoritas ulama. Selain itu terdapat hadits shahih lainnya yang menyebutkan lima kali takbir. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa dia bertakbir lima kali. Kemudian dia pun ditanya tentang hal itu. Dia menjawab, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dahulu melakukannya.” [HR Muslim] Oleh sebab itu Imam Ahmad dan sekelompok ulama lainnya membolehkan melakukannya.[16]

MEMBACA AL-FATIHAH SETELAH TAKBIR PERTAMA

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallaahu ‘anhuma , ia menceritakan, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam shalat jenazah kemudian membaca surat Al-Fatihah.” [HR Bukhari] Imam Nasa’i menambahkan, “dan membaca surat.”[17]

MEMBACA SHALAWAT SETELAH TAKBIR KEDUA

Abu Umamah mendapatkan berita dari salah seorang sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya yang dituntunkan dalam menshalati jenazah adalah: imam bertakbir, kemudian membaca Al-Fatihah dengan lirih setelah takbir pertama, kemudian membaca shalawat atas Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan mengikhlaskan do’a untuk kebaikan jenazah pada takbir yang tiga dan tidak membaca ayat Qur’an sedikit pun di dalamnya, lalu membaca salam dengan lirih yang hanya didengar oleh dirinya sendiri.”[18]

DO’A UNTUK KEBAIKAN MAYIT SETELAH TAKBIR KETIGA

Hendaknya membaca do’a,

“Ya Alloh, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan juga yang sudah mati, yang masih kecil maupun yang besar, yang hadir maupun yang sedang tidak hadir, yang lelaki maupun yang perempuan. Ya Alloh, hidupkanlah orang yang ingin Kau hidupkan untuk tegar di atas Islam. Dan matikanlah orang yang ingin Kau matikan untuk mati di atas keimanan.”[19]

Diriwayatkan dari Auf bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: “Aku hafal do’a Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ketika menshalati jenazah yaitu beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam membaca,



Sampai-sampai aku berangan-angan seandainya mayit itu adalah aku.[20] Kemudian setelah itu bertakbir (takbir ke empat, ed), diam sebentar dan kemudian mengucapkan salam.”[21]

BERDO’A SEBELUM SALAM SALAM ADALAH DISYARIATKAN

Abu Ya’fur menuturkan, Aku pernah melihat Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallaahu ‘anhu shalat jenazah dan bertakbir empat kali, kemudian dia berdiri terdiam sebentar yaitu untuk memanjatkan do’a, kemudian (sesudah shalat selesai) dia bertanya, “Apakah kalian melihat aku takbir lima kali?” Mereka menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah dahulu bertakbir empat kali.”[22]

SALAM DUA KALI ATAU SEKALI

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu dia berkata: “Ada tiga hal yang dikerjakan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam akan tetapi sudah mulai ditinggalkan oleh orang, salah satunya adalah mengucapkan salam di akhir shalat jenazah persis sebagaimana salam ketika shalat biasa.”[23] Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu dia berkata: “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah shalat jenazah. Beliau bertakbir empat kali dan mengucapkan salam sekali saja.”[24]

DUA KELOMPOK ORANG YANG TIDAK WAJIB DISHALATI JENAZAHNYA

1. Anak kecil belum baligh yang meninggal. ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha berkata: “Ibrahim putra Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam meninggal pada usia 18 bulan, dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak menshalati jenazahnya.”[25]

2. Orang yang mati syahid di medan jihad. Anas Radhiyallaahu ‘anhu mengatakan, “Para pejuang yang mati syahid di perang Uhud itu tidak dimandikan. Mereka dikubur dalam keadaan dibiarkan berlumuran darah. Dan mereka juga tidak dishalati.”[26]

WAKTU YANG TERLARANG UNTUK SHALAT JENAZAH

1. Sejak matahari baru saja terbit sampai benar-benar meninggi

2. Sejak matahari tepat berada di tengah-tengah sampai bergeser

3. Sejak matahari mulai tenggelam ke arah barat hendak terbenam sampai benar-benar terbenam [27]

Wallahua a’lam.

Catatan:

[1] Shahih Muslim no 939

[2] Syarah Muslim, IV/252

[3] Lihat Talkhish Ahkaamil Janaa’iz, hal 28-31 dengan sedikit perubahan

[4] Shahih Muslim no 943

[5] Musnad Ahmad no 2109 dan Ash-habu al-Sunan kecuali Nasa’I, lihat Taudhihul Ahkam, II/38

[6] Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain, lihat Taisirul ‘Allam, I/309

[7] Taisirul ‘Allam, I/309, lihat juga catatan kaki Manhajus Salikin, hal 94

[8] Shahih Muslim no 945

[9] Shahih, Shahih Sunan Nasa’i: 1859, dinukil dari Al-Wajiz, hal 168

[10] Lihat Al-Wajiz, hal 168

[11] Sunan Abi Dawud no 2753, hasan, Ahkamul Jana-iz, 99-100, dinukil dari Al-Wajiz, hal 167

[12] Shahih Muslim no 964

[13] Taisirul ‘Allam, I/317

[14] Lihat Taisirul ‘Allam, I/318

[15] Shahih Muslim no 951

[16] Lihat Al-Munakhkhalah, hal 62

[17] Sanadnya shahih, lihat Al-Munakhkhalah, hal 63

[18] Riwayat al-Baihaqi: 39/4, Ahkamul Jana-iz: 122 dan Al-Wajiz, hal 171

[19] Riwayat Ahmad: 2/368 dan lain lain dari sahabat Abu Hurairah, lihat Manhajus Salikin, hal 95

[20] Shahih Muslim no 963

[21] Lihat Manhajus Salikin, hal 96, Taisirul ‘Allam, I/305

[22] Sanadnya shahih, lihat Ahkamul Jana-iz, hal 126, dinukil dari Al-Wajiz, hal 171

[23] Sanadnya hasan, Ahkamul Janaa’iz, hal 127, dinukil dari Al-Wajiz, hal 172

[24] Sanadnya hasan, Ahkamul Janaa’iz, hal 128, dinukil dari Al-Wajiz, hal 172

[25] Sanadnya hasan, Ahkaamul Janaa’iz, hal 80, lihat Al-Wajiz, hal 166

[26] Hadits hasan, Shahih Sunan Abi Dawud: 2688, lihat Al-Wajiz, hal 166

[27] Lihat Shahih Muslim dan lain-lain, Al-Wajiz, hal 172



Sumber: FATAWA. Vol. IV/No. 05. Hal. 30-33. Jumadil Ula 1429. Mei 2008.


Postingan populer dari blog ini

KEKELIRUAN DALAM MENGUCAPKAN KATA "WA IYYAKUM"

KEKELIRUAN DALAM MENGUCAPKAN KATA "WA IYYAKUM" Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Pijat Payudara Selama Menyusui

Masase Payudara untuk Pemeliharaan Payudara Bagi sebagian ibu, aktivitas menyusui kerap dihubungkan dengan keindahan payudara. Alasan inilah yg membuat mereka enggan berlama-lama menyus ui. Pakar ASI Dr. Utami Roesli Sp.A. dalam sebuah se minar ASI mengungkapkan bahwa sesungguhnya bukan menyusui yg mengubah bentuk payudara, tapi proses kehamilanlah yg menyebabkan perubahan itu. Dan bila ada keinginan unt u k mengembalikan bentuknya seperti saat masih gadis, lebih baik lupakanlah. Sebab memang tak mungkin. Namun, itu bukan berarti tak ada cara membuat payudara tetap terlihat indah dan kencang. Apalagis etelah persalinan dan di saat anda menyusui. Selain terlihat indah, perawatan payudara yg dilakukan dengan benar dan teratur akan memudahkan si kecil mengkonsumsi ASI. Pemeliharaan ini juga bisa merangsang produksi ASI dan m engurangi resiko luka saat menyusui. Berikut ini kiat masase payudara yg dapat anda prakt ekkan sejak hari ke-2 usai persalinan, sebanyak 2 kali sehari.

Apakah Saudara Sepersusuan Menjadi Mahram?

Apakah Saudara Sepersusuan Menjadi Mahram? Pertanyaan: Saya mau bertanya. Misalnya Ummu Aisyah menyusui Rifqi (anak orang lain) sebanyak lima kali atau lebih sampai kenyang, apakah Aisyah haram dinikahi Rifqi karena sebab sepersusuan? Bagaimana hukum saudara laki-laki Rifqi yang tidak menyusu pada Ummu Aisyah, apakah juga haram menikahi Aisyah?