Langsung ke konten utama

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SUSUAN ORANG YANG TELAH DEWASA

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SUSUAN ORANG YANG TELAH DEWASA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi,



[A]. PENDAPAT UMUM PARA ULAMA TENTANG SUSUAN ORANG YANG TELAH DEWASA
Perlu diketahui , semoga Allah mengokohkan kami dan para pembaca sekalian di atas al-haq, bahwasanya masalah ini sudah diperbincangkan oleh para ulama dalam beberapa pendapat yang berbeda. Saya paparkan disini tiga di antara pendapat tersebut, karena inilah sesungguhnya inti permasalahannya. Ketiga pendapat tersebut yaitu:

1. Menyebabkan hubungan mahram secara mutlak
2. Tidak menyebabkan hubungan mahram secara mutlak
3. Tidak menyebabkan hubungan mahram kecuali karena kebutuhan

[B]. PENDAPAT PERTAMA (MENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM SECARA MUTLAK)
Dalil mereka yang berpendapat seperti ini adalah firman Allah:

"Artinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan diharamkan pula (mengawini) saudara perempuan sepersusuan" [An-Nisa' : 23]

Mereka mengatakan ini adalah nash yang umum yang tidak dibatasi oleh waktu.

Al-Imam Muslim berkata dalam Shahihnya (no. 1453):

"....'Aisyah berkata: Sahlah bintu Suhail datang menemui Nabi, katanya:

"Wahai Rasulullah, saya melihat sesuatu di wajah Abu Hudzaifah karena
seringnya Salim -bekas budaknya- masuk ke rumah".
Kata Nabi: "Susuilah dia".
Kata nya: "Bagaimana saya menyusuinya sedangkan dia laki-laki dewasa?"
Rasulullah tersenyum dan berkata: "Saya tahu dia sudah besar"
'Amr (rawi hadits) menambahkan riwayatnya: "Dan dia (Salim) ikut
dalam perang Badr"

Saya katakan: Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa menyusui anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram.

Para ulama yang berpendapat seperti ini antara lain:

Ibnu Hibban, beliau mengatakan : (1873, Masalah: Menyusui anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram meskipun dia seorang yang sudah tua sebagaimana halnya anak yang masih kecil, tidak ada perbedaan...). Kemudian beliau membantah pendapat yang menyelisihi hal ini. Lihat al-Muhalla (11/196-207).

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (11/319), beliau berkata : "Adalah 'Aisyah berpendapat bahwa susuan anak yang sudah besar menyebabkannya menjadi mahram. Ini diriwayatkan juga dari 'Atha', Al-Laits dan Dawud"

[C]. PENDAPAT KEDUA (TIDAK MENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM SECARA MUTLAK)
Dalil-dalil mereka yang berpendapat seperti ini, yang pertama, dari al-Qur'anul Karim:

Firman Allah:

"Artinya : Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan" [Aal-Baqarah : 233]

(dan surat lain seperti: -pent) Luqman 14, Al-Ahqof : 15

Menurut mereka, ayat-ayat ini tegas membatasi waktu penyusuan hanya dua tahun.

Yang kedua, dari as-Sunnah An-Nabawiyyah:

Rasulullah bersabda:

"Artinya : ....Perhatikanlah olehmu siapa saudaramu itu. Hanya saja (innamaa) susuan itu karena rasa lapar" [HR Bukhari dalam kitab Asy-Syahadat]

Rasulullah bersabda:

"Artinya : Tidak susuan itu menyebabkan haram kecuali yang mengenyangkan usus, melalui buah dada dan sebelum disapih" [HR Ibnu Hibban, Al-Baghowi. Dishahihkan oleh syaikh Albani dalam Irwa' (7/221) dan Shahihul Jami' (7633)]

Rasulullah bersabda:

"Artinya : Sesuatu dari susuan tidaklah mengharamkan kecuali apabila dilakukan selama dua tahun" [HR ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Ibnu 'Adi, (syaikh berkata: -pent) hadits ini shahih apalagi dengan adanya penguat yang cukup banyak]

Rasulullah bersabda:

"Artinya : Tidak ada susuan setelah masa penyapihan" [HR Abdur razaq, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, dll, (syaikh berkata: -pent) Hadits ini mempunyai dua jalan: ....... Hadits ini lemah, namun menjadi hasan lighoirihi dengan jalan kedua ....]

Secara lahiriah , dalil-dalil ini mensyaratkan bahwa yang dianggap susuan adalah anak yang usianya masih kecil. Dan ini adalah pendapat jumhur ahli ilmu. Dari sinilah munculnya perbedaan pendapat. Yang berpendapat seperti ini diantaranya:

1. Al-Imam at Tirmidzi
2. Al-Baghawi
3. Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta'
4. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
5. Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Abdullah Al-Fauzan
6. dll (pent-)

[D]. PENDAPAT KETIGA (TIDAKMENYEBABKAN HUBUNGAN MAHRAM KECUALI KARENA KEBUTUHAN)
Golongan yang berpendapat demikian dari para muhaqqiq di antara ahli ilmu:

[1]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu' Fatawa 34/60)
Setelah menyebutkan hadits Salim maula Abi Hudzaifah, beliau berkata:
"Hadits ini dijadikan dalil oleh 'Aisyah, sedangkan para istri Nabi yang lain menolak untuk menjadikannya sebagai dalil. Padahal 'Aisyah juga yang meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda: "Susuan itu karena rasa lapar". Namun 'Aisyah melihat adanya perbedaan antara radha'ah (susuan) dengan sekedar taghdziyah (pemberian makanan).

Maka apabila tujuan itu adalah yang kedua (memberi makan), jelas tidak akan menyebabkan haram (menjadi haram) kecuali bila dilakukan sebelum penyapihan. Dan inilah yang dinamakan penyusuan yang umum terjadi pada manusia. Adapun tujuan yang pertama, maka boleh saja kalau memang diperlukan untuk menjadikannya mahram (yang haram dinikahi). Dan kadang dibolehkan karena memang dibutuhkan, dan tidak dibolehkan untuk hal-hal lain. Inilah pendapat yang lebih terarah"

[2]. Al-'Allamah Ibnul Qayyim (Zaadul Ma'ad 5/593)
Beliau mengatakan:
"Hadits Sahlah bukanlah hadits yang mansukh (dihapus hukumnya), juga bukan hadits yang dikhususkan, bahkan bukan pula bersifat umum bagi setiap orang. Tapi ini adalah rukhshah (keringanan) karena adanya satu kebutuhan bagi orang yang sangat butuh untuk masuk menemui seorang wanita, dalam keadaan berat bagi wanita tsb utk berhijabdari laki-laki itu. Sebagaimana keadaan Salim dengan istri Abu Hudzaifah.

Jadi, orang dewasa seperti ini bila disusui oleh seorang waniita karena memang dibutuhkan, tentunya susuan itu memberikan pengaruh (menyebabkan jadi mahram). Adapun bagi laki-laki lain, maka jelas tidak akan memberi pengaruh kecuali susuan yang masih bayi. Ini juga juga jalan yang ditempuh oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Adapun hadits yang yang menafikan susuan pada anak atau orang dewasa, mungkin masih merupakan hadits yang mutlak, sehingga dibatasi oleh hadits Sahlah, atau bersifat umum dalam keadaan apapun. Maka keadaan ini dikhususkan dari keumumannya. Dan ini lebih baik daripada menganggap adanya nasakh (penghapusan hukum suatu dalil), atau anggapan bahwa hadits ini merupakan pengkhususan bagi orang tertentu (dalam hal ini adalah Salim -pent). Bahkan ini lebih dekat dengan pengamalan, dengan mengumpulkan hadits-hadits tsb dari dua sisi. Hal ini dikuatkan pula oleh kaidah atau pedoman syariat. Wallahu muwaffiq."

[3]. Al-'Allamah Ibnul Amir Ash-Shan'ani (Subulus Salam 3/313)
Beliau mengatakan: "...Yang paling baik dalam menggabungkan (menjama') antara hadits Sahlah dan hadits-hadits yang bertentangan dengannya ialah pendapat Ibnu Taimiyah...."

[4]. Al-'Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Author (3/353-354) dan juga dalam As-Sailul Jarrar (2/469) dimana beliau mengatakan:
"Walhasil, hadits Salim adalah khusus bagi mereka yang dihadapkan pada kebutuhan tersebut. Juga bagi seseorang yang perlu memasukkan orang lain kepada istrinya, dalam keadaan sangat butuh untuk masuk ke rumahnya secara berulang-ulang karena satu keperluan dan kemaslahatan. Siapa yang menolaknya tanpa bukti keterangan yang jelas, berarti dia membantah Rasulullah dan syariatnya yang suci. Dan siapa yang membatasinya untuk Salim semata, berarti dia telah mendatangkan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Bahkan tidak sesuai dengan kaidah yang baku dalam ilmu ushul fiqh"

[5]. Al-'Allamah Shiddiq Hasan Khan (Ar-Raudhatun Nadiyyah Syarh ad-Durar al-Bahiyah (2/88)
Beliau mengatakan:
"Saya menyatakan: Walhasil, hadits sebelumnya (hadits Salim) adalah shahih. Diriwayatkan pula oleh sejumlah besar rawi, dari sejumlah besar rawi pula, pada generasi belakangan dari generasi salaf. Tidak ada satupun ahli dalam bidang ini yang mengecam hadits ini. Paling akhir, mereka menyelisihinya mengatakan bahwa hadits ini mansukh. Namun perlu dijelaskan bahwasanya kalau memang mansukh , tentulah ada bantahan terhadap 'Aisyah dengan alasan ini. Padahal tidak ada sama sekali nukilan dari mereka yang mengatakan demikian, sementara perselisihan dalam permasalahan ini sangat masyhur di kalangan sahabat.

Adapun hadits-hadits yang menyatakan tidak adanya susuan kecuali dalam masa dua tahun dan sebelum disapih, meskipun ada perbincangan di dalamnya, ternyata tidak bertentangan dengan hadits Salim. Karena hadits-hadits itu umum, sedangkan hadits Salim adalah khusus. Sedangkan yang khusus harus didahulukan daripada yang umum. Namun hadits Salim ini dikhususkan juga dengan keadaan orang-orang yang dihadapkan pada satu kebutuhan sehingga perlu menyusui orang yang sudah dewasa, sebagaimana terjadi pada Abu Hudzaifah dan istrinya, Sahlah. Disamping itu, Salim bagi keduanya sudah seperti anak sendiri. Dia tinggal di rumah mereka, dan berhijab darinya sangatlah menyulitkan keduanya. Oleh karena itulah Rasulullah memberi keringanan untuk menyusuinya bagi orang-orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti ini dan tidak ada jalan yang lain lagi....."

[6]. Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh (sebagaimana dalam Ahkam Ar-Radha'ah yang dikumpulkan dan disusun oleh Abu Malik Muhammad Hamid bin Abdul Wahhab) Beliau pernah ditanya: "Bagaimana tentang susuan orang yang sudah besar, apakah berpengaruh dan menyebabkan pengharaman (menjadi mahram)?"

Beliau menjawab:
"......"Tidaklah lah mengharamkan sesuatu dari susuan kecuali apabila dilakukan selama dua tahun (hadits -pent)". Inilah yang sesuai dengan mazhab Hambali dan dengan inilah fatwa menurut kami.

Sebagian ahli ilmu berpendapat diakuinya susuan orang dewasa, berasalan dengan kisah Salim..........

Mereka yang berpendapat tidak ada nya pengharaman (yakni tidak menjadi mahram) karena susuan anak yang dewasa, menjawab dengan beberapa jawaban. Diantaranya bahwa kisah Salim ini khusus baginya, sebagaimana diterangkan oleh sejumlah istri Rasulullah, ketika mereka mengatakan kepada 'Aisyah: "Kami berpandangan bahwa ini tidak lain adalah rukhshah yang diberikan Rasulullah kepada Salim secara khusus. Dan tidak ada satu orang pun yang boleh masuk kepada kami kalau dia menyusu dengan cara seperti ini. Dan kami menganggap dia tidak boleh melihat kami".

Dua orang syaikh (Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim) telah mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Keduanya menerangkan bahwa kisah Salim maula Abi Hudzaifah adalah kasus yang khusus meliputi setiap keadaan yang sama seperti keadaan Sahlah dan Salim. Hukumnya sama seperti hukum yang diterapkan dalam kisah Abu Burdah yangmenyembelih qurban sebelum sholat 'Id dan Rasulullah berkata:

"Kambingmu adalah kambing daging". Abu Burdah berkata: "Wahai Rasulullah, sebetulnya saya punya kambing yang sudah berumur dua tahun" Maka beliau mengizinkan seraya mengatakan: "Dan ini tidak sah bagi siapapun selain kamu" [HR Al-Bukhari]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Artinya tidak sah bagi siapapun sesudah keadaanmu ini"

Dan dengan apa yang kami isyaratkan tadi, Syaikhul Islam dengan tegas menyebutkan dalam Al-Ikhtiyarat yaitu:

"Susuan anak yang dewasa tetap menyebabkan keharaman dimana akhirnya ia boleh masuk dan berkhalwat. Dan ini jika orang yang menyusu itu memang tumbuh dan terbina di rumah itu juga , dan dalam keadaan mereka sulit berhijab dari dia. Hal ini berdasarkan kisah Salim maula Abi Hudzaifah".

Dan dari yang kami paparkan ini, jelaslah jawaban pertanyaan anda. Dan nampak bahwa wanita yang anda sebutkan tidak sama keadaannya dengan keadaan Sahlah istri Abu Hudzaifah. Artinya dia tidak teruji dengan adanya seorang laki-laki yang masuk menemuinya dalam keadaan laki-laki itu tumbuh dan terbina selama ini di rumahnya. Hanya saja sekarang ini anda ingin menemukan seorang laki-laki yang anda menyusu kepada istrinya sehingga menjadi mahramnya, menurut pernyataannya. Ini tidak boleh.

Adapun ucapannya tentang keadaan yang dihadapinya yaitu butuhnya dia kepada mahram dan katanya, kalau saya mati siapa yang memasukkan saya ke dalam kubur dan melepaskan ikatan saya? Maka jawabnya: "Tidak masalah seorang laki-laki ajnabi (non mahram) memasukkan jenazah seorang wanita ke dalam kuburnya dan melepasikatan kafannya, meskipun disitu ada mahramnya. Dan taufik itu di tangan Allah".

[7]. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany
Saya pernah bertanya kepada beliau tentang masalah ini di rumah beliau di 'Amman, Yordania. Jawaban beliau sama dengan jawaban saudara-saudara beliau dari kalangan ulama muhaqqiqin. Dan ini terjadi ketika saya berziarah kepada beliau di Yordania tanggal 25 Rabi' Ats-Tsani 1404H.

[E]. PENDAPAT PENULIS
Saya mengatakan:

"Yang di tahqiq oleh para ulama ini (yang memilih pendapat ketiga -pent), adalah bentuk pengumpulan yang baik, mengamalkan semua nash. Dan inilah yang dimaksudkan oleh nash-nash syariat.

Kalau kita berpegang dengan hadits Salim maula Abi Hudzaifah saja, tentulah kita tinggalkan nash yang lain. Kalau kita berpegang dengan hadits yang menafikan (menolak), tentulah kita tinggalkan hadits Salim ini. Oleh karena itu kita harus menggabungkan antara nash-nash syariat yang ada, selama hal itu memungkinkan.

Juga karena tidak adanya dalil yang mengkhususkan Salim, bahkan tidak pula yang me-nasakh (menghapus hukumnya). Sedangkan kembali kepada al-haq adalah wajib atas setiap muslim yang mukallaf"

[F]. CARA MENYUSUI ANAK YANG TELAH DEWASA
Ibnu Abdil Barr mengatakan (at-Tamhid 8/257):

"Demikianlah cara menyusui anak yang sudah besar, sebagaimana sudah disebutkan. (Yaitu dengan cara) dia memerah susunya kemudian meminumkannya. Adapun menghisap langsung dari puting susu ibu susunya seperti hal nya anak-anak bayi, ini tidak dibenarkan...."

[G]. JANGAN IZINKAN ISTRIMU MENYUSUI LAKI-LAKI YANG RUSAK
Jika memang terpaksa harus menyusui anak yang sudah besar, maka hendaklah orang yang menyusu itu adalah orang yang shalih dan bertaqwa. Bukan orang yang rusak dan jahat, karena dia akan masuk menjadi mahrammu.

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda:

"Seseorang dinilai (agamanya) dengan siapa yang jadi teman dekatnya (kesayangannya). Maka perhatikan olehmu siapa yang jadi teman dekat kesayangannya" [HR Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dia berkata: hadits hasan gharib]

[Disalin dari kitab Talkhiishul Habir fii Hukmi Rodhoo'il Kabir (Hukum Menyusui Orang Dewasa - Penerbit Ar-Rayyan) yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi, murid dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i rahimahullah. Diambil dari arsip milis assunnah, pengirim a_firmansyah95@yahoo.com]

http://almanhaj.or.id/content/1017/slash/0

Postingan populer dari blog ini

KEKELIRUAN DALAM MENGUCAPKAN KATA "WA IYYAKUM"

KEKELIRUAN DALAM MENGUCAPKAN KATA "WA IYYAKUM" Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Pijat Payudara Selama Menyusui

Masase Payudara untuk Pemeliharaan Payudara Bagi sebagian ibu, aktivitas menyusui kerap dihubungkan dengan keindahan payudara. Alasan inilah yg membuat mereka enggan berlama-lama menyus ui. Pakar ASI Dr. Utami Roesli Sp.A. dalam sebuah se minar ASI mengungkapkan bahwa sesungguhnya bukan menyusui yg mengubah bentuk payudara, tapi proses kehamilanlah yg menyebabkan perubahan itu. Dan bila ada keinginan unt u k mengembalikan bentuknya seperti saat masih gadis, lebih baik lupakanlah. Sebab memang tak mungkin. Namun, itu bukan berarti tak ada cara membuat payudara tetap terlihat indah dan kencang. Apalagis etelah persalinan dan di saat anda menyusui. Selain terlihat indah, perawatan payudara yg dilakukan dengan benar dan teratur akan memudahkan si kecil mengkonsumsi ASI. Pemeliharaan ini juga bisa merangsang produksi ASI dan m engurangi resiko luka saat menyusui. Berikut ini kiat masase payudara yg dapat anda prakt ekkan sejak hari ke-2 usai persalinan, sebanyak 2 kali sehari.

Apakah Saudara Sepersusuan Menjadi Mahram?

Apakah Saudara Sepersusuan Menjadi Mahram? Pertanyaan: Saya mau bertanya. Misalnya Ummu Aisyah menyusui Rifqi (anak orang lain) sebanyak lima kali atau lebih sampai kenyang, apakah Aisyah haram dinikahi Rifqi karena sebab sepersusuan? Bagaimana hukum saudara laki-laki Rifqi yang tidak menyusu pada Ummu Aisyah, apakah juga haram menikahi Aisyah?